Saturday 5 March 2011


**Dari Laporan Praktikum Mikrobiologi Industri : Yogurt plus Tape**

Pembahasan
1. Tape
Tape merupakan makanan khas yang banyak dikenal masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Di Sunda, tape di kenal sebagai peuyeum yang diambil dari nama bahan asalnya. Melihat banyaknya konsumen yang telah mengenal dan ternyata menyukai produk ini, mengindikasikan adanya prospek pasar tape yang cukup bagus sehingga tahap proses pembuatan dan modifikasi dalam hal proses serta penggunaannya perlu diteliti lebih lanjut agar memungkinkan pemasaran yang sukses.
Pada praktikum mikrobiologi industri ini dilakukan proses pembuatan tape dalam skala laboratorium yang ditujukan untuk mengetahui rangkaian proses pembuatan tape, contoh pemanfaatannnya, beserta analisanya. Tape yang ingin dibuat adalah tape yang berasal dari ketela pohon (singkong) melalui proses fermentasi dengan campur tangan mikroba.
Ragi tape yang digunakan merupakan inokulan yang mengandung kapang amilolitik yang mampu menghidrolisis pati. Kapang tersebut adalah Amylomyces rouxii (semula dikenal sebagai Chlamydomucor rouxii). Amylomyces rouxii merupakan organisme yang berdivisio Thallophyta dan sub divisio fungi yang mampu memecah pati pada ketela dengan cara memproduksi enzim hidroliltik berupa amilase.
Singkong merupakan bahan pangan yang mengandung karbohidrat sehingga bahan ini bisa difermentasi oleh mikroba. Karbohidarat dalam proses fermentasi ini berfungsi sebagai penyedia karbon bagi mikroba.
Proses pembuatan tape pada praktikum ini diawali dengan penimbangan ketela, hal ini bertujuan untuk menyusun neraca bahan. Langkah selanjutnya adalah mengupas kulit ketela, hal ini karena bahan yang akan difermentasi dan dikonsunsi hanyalah bagian daging buahnya saja yang mengandung karbohidrat. Pengupasan dapat dilakukan dengan cepat denganh cara mengiris kulit secara memanjang searah panjang ketela, lalu dibuka kulit tersebut dengan arah melebar. Setelah itu bahan dicuci dengan air agar kotoran-kotoran seperti tanah dan kulit ketela yang terikut dan menempel pada bahan bisa hilang, tujuan lain dari pencuciana ini adalah untuk menghilangkan lender dan glukosa HCN yang kadang-kadang terikut pada ketela. Bila tidak dicuci, lendir bisa mengakibatkan warna ketela menjadi kehitaman, karena bagian ini mengandung enzim polyphenol yang mampu bereaksi dengan udara menghasilkan warna hitam kecoklatan. Pengilangan lendir juga berfungsi untuk mencegah aroma yang tidak enak pada ketela yang diolah. Bahan kemudian dikukus dalam panci/dandang agar kadar air bahan menurun. Hal ini dilakukan karena kebanyakan kapang membutuhkan Aw minimal untuk pertumbuhan.
Setelah bahan matang, bahan diambil dalam keadaan panas dan ditaburi (dicampuri) gula dalam keadaan panas pula agar gula bisa larut ke dalam bahan. Penambahan gula ini bertujuan agar tape yang dihasilkan tidak terlalu asam. Setel;ah itu bahan didinginkan dan ditaburi(dicampuri) ragi. Pendinginan sebelum penaburan ragi ini untuk mencegah kematian ragi akibat suhu tinggi.
Ragi ini dijual di pasaran dalam bentuk tablet, sehingga perlu digerus dulu sampai halus sehingga memudahkan dalam pemerataan ragi pada permukaan bahan. bahan yang sudah diberi ragi ini kemudian disimpan dalam kardus berlubang yang dialasi dengan daun pisang agar tidak terkontaminasi oleh mikroba lain. Struktur daun pisang yang berpori ini memungkinkan kapang tetap bisa mengambil oksigen dari lingkungan. Kebanyakan kapang termasuk A. rouxii termasuk mikroba aerob yang membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya.
Langkah terakhir adalah menyimpan bahan ini dalam incubator pada suhu kamar. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa kebanyakan kapang bersifat mesofilik, yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kapang adalah sekitar 35-30 derajat Celcius, tapi beberapa dapat tumbuh pada suhu 37 derajat celcius atau lebih tinggi.
Kebanyakan kapang dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu 2 - 8,5 tetapi biasanya pertumbuhan akan baik pada kondisi pH rendah/asam (Fardiaz,1992).
Pada proses inkubasi ini, kapang mengalami fase adaptasi (lag) dan pertumbuhan eksponensial (log).
Pertumbuhan kapang biasanya berjalan lebih lambat dibandingkan dengan bakteri dan khamir. Tetapi sekali kapang dapat mulai tumbuh, pertumbuhan yang ditandai dengan pembentukan miselium dapat berlangsung lebih cepat (Fardiaz,1992)
Pada fase adaptasi, kapang tidak melakukan proses apapun kecuali aktivitas penyesuaian diri terhadap lingkungan yang baru. Jumlah kapang relatif tetap bahkan terkadang menurun. Semakin lama fase adaptasi, maka akan semakin lama pula proses pembuatan tape, sehingga tahap ini perlu diminimalkan dengan pemakaian kapang dan substrat dalam jumlah yang sesuai. Pada fase log, jumlah kapang naik tajamsehingga kadang memberi penampakan yag kurang menarik pada tape. Pada fase log ini, kapang mulai melakukan proses fermentasi karbohidrat. Fermentasi dilakukan dengan cara menghidrolisa pati menjadi maltosa dan glukosa, yang selanjutnya sakarida ini difermentasi menjadi alcohol dan asam-asam organic pendukung flavor dan aroma yang enak (Sudarmadji,1989). Pembuatan tape berlangsung selama kurang lebih 2-3 hari. Lamanya pembuatan tape ini disebabkan karena lambatnya pertumbuhan kapang.
Fermentasi dinyatakan cukup bila telah terbentuk tekstur yang lunak, rasa manis, dan aroma yang khas. Lama fermentasi tergantung pada suhunya, biasanya berkisar antara 48-72 jam.. Perubahan biokimia yang pertama pada fermentasi tape adalah hidrolisis molekul pati menjadi maltosa dan glukosa sehingga rasanya manis dan fermentasi sebagian gula menjadi alkohol dan asam organik (Sudarmadji,1989).
Tape yang dibuat kelompok 4 memberi penampakan khas sebagaimana tape pada umumnya. Perubahan yang terjadi pada pembuatan tape ini antara lain :
- rasanya asam. Hal ini disebabkan karena nilai pH selama fermentasi tape turun dari pH 6 menjadi pH 3,5 tetapi pada umumnya pH mencapai 4
- bahan menjadi lunak/kenaikan kadar cairan. Selama fermentasi tape ubi volume cairan cenderung meningkat. Hal ini disebabkan selama hidrolisa pati menjadi gula sederhana, perubahan sebagai gula menjadi asam organik dan alkohol, serta pembentukan ester terjadi pelepasan air
- agak manis. Hal ini disebabkan Karen penambahan gula pada ketela sebelum dicampuri ragi
- terbentuk alcohol, CO2, dan energi panas
- ditumbuhi kapang yang menyebar di permukaan tape
Salah satu kelemahan makanan yang difermentasi oleh kapang dibandingkan makanan yang difermentasi khamir dan bakteri adalah adanya pertumbuhan miselium kapang pada permukaan makanan yang mempengaruhi penampakan makanan tersebut. Begitu juga dengan tape ini, bagi yang tak biasa melihat dan mengkonsumsinya mungkin merasa agak risih melihat tape yang ditumbuhi mikroba putih-putih di permukaanya.
Reaksi kimia yang terjadi pada pembuatan tape ini adalah perubahan polisakarida (pati) menjadi gula sederhana kemudian gula sederhana ini difermentasi lanjut menjadi alcohol dan CO2. Fermentasi glukosa pada prinsipnya terdiri dari dua tahap :
1. pemecahan rantai karbon dari glukosa dan pelepasan paling sedikit dua pasang atom hidrogen menghasilkan senyawa karbon lainnya yang lebih teroksidasi daripada glukosa.
2. senyawa yang teroksidasi tersebut direduksi kembali oleh atom hydrogen yang dilepaskan dalam tahap pertama, membentuk senyawa-senyawa lain sebagai hasil fermentasi. Reaksi oksidasi tidak dapat berlangsung tanpa reaksi reduksi yang seimbang. Oleh karena itu jumlah atom hydrogen yang dilepaskan dalam tahap pertama fermentasi selalu seimbang dengan jumlah yang digunakan dalam tahap kedua.
Dalam tahap fermentasi glukosa selalu terbentuk asam piruvat. Pada pembuatan tape ini, jalur pemecahan glukosa menjadi asam piruvat melalui jalur EMP (Embden-Meyerhoff-Parnas)¬¬¬¬¬¬¬. Reaksi yang terjadi :
Glukosa + 2 (ADP + 2 NAD+¬ + Pi)  2 piruvat + 2 ATP + 2(NADH + H+)
Pada tahap kedua fermentasi, asam piruvat akan diubah menjadi alcohol menggunakan atom hydrogen yang terbentuk pada tahap pertama di atas dengan bantuan kataliator berupa enzim yang dihasilkan kapang.
Melalui pangamatan di bawah mikroskop, tampak gambar ragi yang digunakan dalam pembuatan tape ini. Struktur kapang dalam gambar ini berupa kumpulan sel-sel tunggal mirip khamir dan berbentuk bulatan-bulatan.

2. Yogurt
Yogurt merupakan bahan pangan yang cukup bergizi dan enak rasanya. Yogurt dibuat dengan cara fermentasi susu, sehingga akan merubah komposisi susu sedemikian rupa sehingga nilai gizinya akan bertambah.

Kandungan gizi yogurt :
Kalori (kal) 52
Protein (gr) 3,3
Lemak (gr) 2,5
Hidrat arang (gr) 4,0
Ca (mg) 120
P (mg) 90
Fe (mg) 0,1
Vit A (SI) 73
Vit B1 (mg) 0,04
Vit C (mg) 0
Air (gr) 88
b.d.d.(%) 100

Nurwantoro (1997) menyatakan bahwa susu merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini karena komposisi nutrisinya sangat ideal untuk pertumbuhan mikroba
Pembuatan yogurt dimulai dengan penyiapan kultur starter bakteri asam laktat homofermentatif yaitu Lactobacilllus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus. Keduanya merupakan bakteri yang mampu mengubah gula/karbohidrat dalam susu menjadi asam laktat. Keduanya diambil sebanyak 1 mL dari tempat penyimpanannya dengan menggunakan pipet (karena cairan) dan dipindahkan ke medium baru (9 mL) berupa susu dalam 2 tabung reaksi yang berbeda. Sebelum dicampuri bakteri, susu divorteks dulu agar komposisi larutan merata. Susu merupakan sumber nutrient bagi untuk pertumbuhan bakteri. Pemindahan dilakukan secara aseptis agar tidak tercampuri mikroba lain yang tidak diinginkan. Starter ini kemudian didiamkan dalam incubator pada suhu kamar selama 24 jam. Tujuaan tahap penyiapan starter ini adalah untuk pembibitan (scale up) bakteri agar biomassanya bertambah dengan cepat. Pada tahap ini bakteri akan mengalami fase adaptai (lag), pertumbuhanj awal, dan log. Fase-fase ini berlangsung kurang lebih selama satu hari. Pada fase log, bakteri bisa mulai dipindahkan ke substrat untuk melakukan fermentasi.
Pada pembuatan yogurt ini, bakteri dari media simpan tidak langsung dicampurkan ke substrat dalam Erlenmeyer agar fase adaptasinya tidak terlalu lama. Pada fase adaptasi, bakteri tidak melakukan aktifitas apa-apa kecuali aktivitas penyesuaian diri terhadap lingkungan. Bila fase ini terlalu lama tentu saja merupakan kerugian bagi industri. Selain itu fase inipun juga belum tentu berhasil, sehingga bila fase ini gagal tentu saja kerugian yang ditanggung juga lebih besar.
Tahap selanjutnya adalah menyiapkan substrat yang akan difermentasi kemudian dilanjutkan dengan pencampuran kultur bakteri. Pembuatan substrat dimulai dengan mencampur 80 mL susu UHT, 4 gr susu skim, 24 gr gula pasir, dan 5 tetes essence (coklat) dalam erlenmeyer. . Susu UHT dan skim di sini berfungsi sebagai sumber nutrien bagi bakteri, selain itu susu skim juga berfungsi sebagai pengental yogurt. Yogurt dari susu skim ini akan mengandung sedikit lemak atau tidak sama sekali. Muchtadi (1980) menyatakan bahwa susu skim merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri karena mengandung gula laktosa, protein, kasein dan vitamin-vitamin mineral, mineral serta air. Hasil akhir kegiatan bakteri terhadap susu tergantung pada apa yang diuraikan oleh bakteri tersebut, yaitu karbohidrat atu protein.
Gula berfungsi sebagai pemanis agar yogurt tidak terlalu masam. Essence berfungsi untuk memperkaya rasa yogurt. Penambahan ekstrak tape juga dapat memberikan nuansa flavor yang khas, hanya saja penambahan ekstrak tape ini dilakukan kelompok lain.
Langkah selanjutnya adalah melakukan pasteurisasi selama 15 menit dengan cara mengukus Erlenmeyer tadi dalam panci (dandang). Hal ini bertujuan untuk membunuh mikroba lain yang mungkin terikut dalam substrat agar tidak mengganggu proses fermentasi susu atau menghasilkan zat-zat berbahaya bagi manusia. Setelah 15 menit, erlenmeyer diambil dan didinginkan dengan cara merendam alas erlenmeyer dengan air agar proses pendinginan lebih cepat. Pendinginan ini bertujuan agar starter yang akan ditambahkan nanti tidak mati.
Starter yang telah berumur satu hari diambil dari inkubator lalu divorteks agar campuran merata lalu ditambahkan ke dalam substrat dalam erlenmeyer terebut. Kemudian campuran baru ini dipindahkan ke dalam cup (gelas) dan plastik bersih lalu disimpan dalam incubator pada suhu kamar selama 24 jam. Pada proses inkubasi ini, mikroba juga mengalami fase adaptasi, pertumbuhan awal, dan log.
Dalam hal ini yang dominan mula-mula adalah S. thermophillus sehingga dapat menghasilkan asam laktat. Tetapi pertumbuhan selanjutnya, bakteri ini akan terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri. Oleh karena itu bakteri ini akan akan menjadi inaktif (memasuki fase stasioner) sehingga kemudian akan tumbuh bakteri jenis L. bulgaricus yang lebih toleran terhadap[ asam daripada S. thermophillu. Lactobacillus ini juga akan menghasilkan asam lebih banyak lagi sampai jumlah tertentu yang dapat menghambat pertumbuhannya. Selama pembentukan asam tersebut pH susu akan turun sehingga terbentuk ''curd" (dadih) susu (Winarno,1980).
Jadi kedua mikroba tersebut tumbuh bersama secara simbiosis. S. thermophyllus tumbuh terlebih dulu karena dirangsang oleh glisin dan histidin sebagai hasil degradasi oleh L. bulgaricus. Sedangkan lactobacillus bulgaricus akan tumbuh dengan pesat setelah Streptococcus thermophyllus memasuki fase stasioner dan pertumbuhannya dirangsang oleh adanya CO2 yang dihasilkan Streptococcus thermophyllus.
Sudarmadji (1989) menyatakan bahwa kedua mikrobia tersebut tumbuh secara bersama-sama. Lactobacillus menghidrolisa protein menjadi asam amino dan dipeptida untuk menstimulasi pertumbuhan Streptococcus dan kemudian terjadi pengasaman susu. Pembentukan flavor dan asam laktat serta asetoldehid memberikan produk spesifik L. bulgaricus pembentuk lendir juga merupakan stabilizer produk yogurt.
Kasein merupakan protein utama dalam susu. Kasein dalam susu terdapat sebagai suspensi koloid yang memberikan warna putih "opaque" (tidak tembus cahaya) pada susu. Fermentasi laktosa akan menhasilkan asam yang akan menurunkan pH larutan. Bila keasaman meningkat, kasein akan menggumpal dan diikuti dengan keluarnya cairan (whey) dari gumpalan kasein (curd). Apabila mikroba yang memfermentasi gula susu terebut membentuk gas, maka gelembung-gelembung gas tersebut akan membuat lubang pada gumpalan kasein (Muchtadi,1980).
Pada praktikum ini, kelompok 4 berhasil dalam membuat yogurt. Hal ini ditandai dengan penampakan/karakteristik yang sama dengan yogurt pada umumnya, yaitu berasa asam, semi solid, putih dan aroma khas. Rasa asam disebabkan karena terbentuknya asam laktat dalam proses fermentasi, sedangkan struktur semi solid dikarenakan oleh kenaikan asam yang mengakibatkan kasein menjendal.
Meskipun yogurt mampu memperlama proses kerusakan susu, namun yogurt juga mempunyai umur simpan terbatas Winarno (1980) menyatakan bahwa pada keasaman yang tinggi Lactobacillus akan mati dan kemudian tumbuh ragi dan kapang yang lebih toleran terhadap asam. Kapang akan mengoksidasi asam, sedangkan ragi akan menghasilkan hasil-hasil akhir yang bersifat basa dari reaksi proteolisis, sehingga keduanya menurunkan asam sampai titik dimana bakteri pembusuk proteolitik dan lipotik akan mencerna curd dan menghasilkan gas serta bau busuk.
Hubungan antara jumlah asam dan pertumbuhan mikroba pada susu dapat dilihat pada gambar berikut : (maaf tidak bisa ditampilkan).

Struktur fisik kedua bakteri yang digunakan dalam pembuatan yogurt ini dapat dilihat melalui mikroskop dengan perbesaran 10 x 16. Struktur Lactobacillus berupa batang (baksil) panjang yang tersusun secara menggerombol. Sedangkan struktur Streptococcus berbentuk bulat yang tersususn secara mengggerombol/berantai.
Yogurt hasil praktikum kelompok 4 dikemas dalam bentuk cup kecil dengan netto 28,7 gr. Selain itu yogurt juga dikemas dalam bentuk lain yaitu dikemas dalam plastic es. Model pengemasan ini memudahkan konsumen dalam mengamati barang yang akan dibelinya dan memudahkan dalam membawanya. Dilihat secara sepintas dari cara pengemasannya dapat ditebak tentang segmentasi pasar kedua jenis produk tersebut. Untuk produk dengan kemasan cup ditujukan di segmen menengah ke atas, sedangkan produk dengan kemasan plastic bagi kalangan menengah ke bawah. Pembedaan jenis segmen ini tentu saja menuntut pembedana harga, sehingga produk dengan kemasan cup hendaknya dijual/kg-nya lebih mahal daripada yang kemasan plastic.
Untuk menarik calon pembeli maka perlu pelabelan kemasan. Hal ini berfungsi sebagai langkah product differentiation agar produk perusahaan tampil beda dengan produk lain yang sudah ada. Label dibuat semenarik mungkin dengan pewarnaan, rangkaian kata, informasi produsen dan berat netto produk. Produk kelompok 4 ini diberi merk 'frushy' yang memberi image rasa segar (fresh) pada konsumen. Rasa coklat yang merupakan flavour utama produk ini diinformasikan dengan tulisan dan warna menarik sehingga konsumen ingin membelinya. Ditambahkan pula dalam kemasan ini rangkaian kata 'fresh yogurt from us for you' yang mengesankan pada konsumen tentang kenikmatan produk, upaya pelayanan konsumen serta penjagaan mutu produk.

3. BEPA
BEPA merupakan salah satu cara penentuan berapa kapasitas produk (dalam satuan rupiah maupun unit produk) yang harus dihasilkan agar perusahaan tidak untung dan untuk rugi. Dalam pembuatan yogurt ini, penentuan nilai BEP dimulai dengan mengklasifikasikan bahan-bahan dan alat-alat produksi yang termasuk biaya tetap (FC) maupun biaya variable (VC).
Suatu bahan dan alat dikatakan termasuk FC bila biaya bahan dan alat tersebut tidak dipengaruhi oleh kapasitas produksi yang dihasilkan selama periode produksi tertentu. Yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah kompor gas, tabung gas, dandang, sendok, tabung reaksi, pipet, dan pengaduk. FC untuk barang-barang ini merupakan nilai biaya yang harus dikeluarkan tiap tahun (A).
Bila telah diketahui tingkat suku bunga yang sedang berlaku, harga barang, dan umur ekonomisnya, maka nilai annual (A) barang tersebut bias dicari dengan menggunakan rumus :
A = { P( i ( 1 + i )n} : { (1 + i)n – 1} ¬¬;
dimana i = 1,08 % dan n = lama umur ekonomis
Contoh perhitungan :
A (kompor gas) = {Rp 24.000,00*(0,0108*(1+0,0108)60} : {(1+0,0108)60 1}
A = Rp 5.455,82
Demikian seterusnya untuk barang-barang yang termasuk kategori ini dicari nilai annualnya kemudian dijumlahkan. Jumlah dari nilai annual ini disebut sebagai TFC. Dari hasil perhitungan, diketahui nilai TFC dalam produksi yogurt ini sebesar Rp 14.940,695.
Suatu bahan dan alat dikatakan termasuk kategori barang yang menimbulkan VC jika biaya yang harus dikeluarkan untuk barang tersebut berubah-ubah secara proporsional sesuai perubahan kapasitas produksi. Yang termasuk dalam kategori barang-barang ini antara lain essence, susu skim, susu UHT, kemasan cup, kemasan plastic, gula pasir, merk produk, gas, tenaga kerja, dan starter. Nilai VC tiap barang dihitung dengan rumus yang sama dengan di atas. Total dari VC ini disebut sebagai TVC. Dari hasil perhitungan, diketahui nilai TVC dalam produksi yogurt ini sebesar Rp 1.655.759,37.
Dengan diketahuinya nilai TFC dan TVC ini maka dapat dicari pula nilai TC (Total Cost) dengan rumus
TC = TFC + TVC = Rp 14.940,695 + Rp 1.655. 759,37
Sehingga diperoleh nilai TC sebesar Rp 1.670.700,065.
Bila besar profit yang diinginkan adalah sebesar 10 % dari TC, maka : Profit = 10 % * Rp 1.670.700,065
= Rp 167.070,0065
Dan bila perusahaan bekerja selama 25 hari per bulan dengan kapasitas produksi per harinya sebesar 184,23 gr maka kapasitas produksi per bulannya sebesar :
A = 25 hari * jumlah produksi dalam 1 hari
= 25 * 184,23= 4.605,75 gr
= 4,606 kg
Dengan diketahuinya nilai-nilai ini maka dapat dicari besarnya harga jual yogurt tiap kg-nya dengan rumus :
Price (P) = (TC + profit) : A
P = Rp ( 1.670.700,065 +167.070,0065) : 4,606 kg
P = Rp 398.994,805 /kg
Sehingga total penjualan (S) per bulan :
S = A*P= 4,606 kg*Rp 398.994,805 /kg
= Rp 1.837.770,071
Untuk mencari nilai titik impas agar perusahaan tidak untung dan tidak rugi, maka dapat digunakan rumus :
BEP (dalam kg) = TFC : {P-(TVC/A)}
= Rp 14.940,695 : { Rp 398.994,805-(Rp 1.655. 759,37/4,606 kg)}
= 0.379 kg
BEP (dalam Rp) = TFC : {P-(TVC/S)}
= Rp 14.940,695 : { Rp 398.994,805-(Rp 1.655. 759,37/ Rp 1.837.770,071)}
= Rp 150.856,856
Jadi, bila perusahaan ingin mendapatkan untung maka perusahaan harus mampu menjual produk yogurtnya di atas 0,379 kg atau hasil jualnya di atas Rp 150.856,856.


RINGKASAN




1. Fermentasi ketela menjadi tape menggunakan jasa kapang A.rouxii. Bentuk kapang ini mirip khamir (unisel)
2. Perubahan yang terjadi pada pembuatan tape adalah : polisakarida (pati)  gula sederhana (glukosa dan maltosa)  alcohol dan CO2. Perubahan ini memberi aroma, rasa dan tekstur yang khas pada tape.
3. Yogurt merupakan bahan pangan dari susu yang difermentasi dengan menggunakan bakteri asam laktat Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus . bentuk kedua bakteri tersebut berupa bulatan (cocus) dan batang (baksil) panjang. Kedua jenis bakteri tersebut hidup secara menggerombol.
4. Pegolahan susu menjadi yogurt mampu meningkatkan kadar gizi, nilai ekonomi, dan umur simpan susu.
5. Aroma, rasa, tekstur, dan kandungan zat dalam yogurt berbeda dengan bahan asalnya
6. Rasa asam pada yogurt karena adanya asam laktat yang dihasilkan bakteri asam laktat.
7. Penjendalan (struktur semi solid) pada yogurt disebabkan oleh kenaikan asam (penurunan pH) yang mengakibatkan protein (kasein) dalam susu menjendal
5. Produksi yogurt membuka banyak alternative/peluang bisnis dalam dunia industri pangan
6. Pengkayaan dan penganekaragaman flavour dan rasa yogurt merupakan salah satu cara pengembangan segmentasi pasar dan pemosisian produk yogurt yang baik
7. Pembuatan yogurt harus benar-benar aseptis agar tidak terjadi kegagalan produksi dan terjadinya bahaya akibat aktivitas mikroba _ias_gen
8. Nilai BEP merupakan nilai yang menunjukkan jumlah produk yang harus terjual agar erusahaan tidak untung dan tidak rugi.
9. Pada praktikum ini, nilai BEP yogurt = 0.379 kg
= Rp 150.856,856


Ditulis oleh : Mahmud Hasan
Dari Laporan Praktikumnya
(Maaf bila analisa belum mendalam).
05:11 mahmud

**Dari Laporan Praktikum Mikrobiologi Industri : Yogurt plus Tape**

Pembahasan
1. Tape
Tape merupakan makanan khas yang banyak dikenal masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Di Sunda, tape di kenal sebagai peuyeum yang diambil dari nama bahan asalnya. Melihat banyaknya konsumen yang telah mengenal dan ternyata menyukai produk ini, mengindikasikan adanya prospek pasar tape yang cukup bagus sehingga tahap proses pembuatan dan modifikasi dalam hal proses serta penggunaannya perlu diteliti lebih lanjut agar memungkinkan pemasaran yang sukses.
Pada praktikum mikrobiologi industri ini dilakukan proses pembuatan tape dalam skala laboratorium yang ditujukan untuk mengetahui rangkaian proses pembuatan tape, contoh pemanfaatannnya, beserta analisanya. Tape yang ingin dibuat adalah tape yang berasal dari ketela pohon (singkong) melalui proses fermentasi dengan campur tangan mikroba.
Ragi tape yang digunakan merupakan inokulan yang mengandung kapang amilolitik yang mampu menghidrolisis pati. Kapang tersebut adalah Amylomyces rouxii (semula dikenal sebagai Chlamydomucor rouxii). Amylomyces rouxii merupakan organisme yang berdivisio Thallophyta dan sub divisio fungi yang mampu memecah pati pada ketela dengan cara memproduksi enzim hidroliltik berupa amilase.
Singkong merupakan bahan pangan yang mengandung karbohidrat sehingga bahan ini bisa difermentasi oleh mikroba. Karbohidarat dalam proses fermentasi ini berfungsi sebagai penyedia karbon bagi mikroba.
Proses pembuatan tape pada praktikum ini diawali dengan penimbangan ketela, hal ini bertujuan untuk menyusun neraca bahan. Langkah selanjutnya adalah mengupas kulit ketela, hal ini karena bahan yang akan difermentasi dan dikonsunsi hanyalah bagian daging buahnya saja yang mengandung karbohidrat. Pengupasan dapat dilakukan dengan cepat denganh cara mengiris kulit secara memanjang searah panjang ketela, lalu dibuka kulit tersebut dengan arah melebar. Setelah itu bahan dicuci dengan air agar kotoran-kotoran seperti tanah dan kulit ketela yang terikut dan menempel pada bahan bisa hilang, tujuan lain dari pencuciana ini adalah untuk menghilangkan lender dan glukosa HCN yang kadang-kadang terikut pada ketela. Bila tidak dicuci, lendir bisa mengakibatkan warna ketela menjadi kehitaman, karena bagian ini mengandung enzim polyphenol yang mampu bereaksi dengan udara menghasilkan warna hitam kecoklatan. Pengilangan lendir juga berfungsi untuk mencegah aroma yang tidak enak pada ketela yang diolah. Bahan kemudian dikukus dalam panci/dandang agar kadar air bahan menurun. Hal ini dilakukan karena kebanyakan kapang membutuhkan Aw minimal untuk pertumbuhan.
Setelah bahan matang, bahan diambil dalam keadaan panas dan ditaburi (dicampuri) gula dalam keadaan panas pula agar gula bisa larut ke dalam bahan. Penambahan gula ini bertujuan agar tape yang dihasilkan tidak terlalu asam. Setel;ah itu bahan didinginkan dan ditaburi(dicampuri) ragi. Pendinginan sebelum penaburan ragi ini untuk mencegah kematian ragi akibat suhu tinggi.
Ragi ini dijual di pasaran dalam bentuk tablet, sehingga perlu digerus dulu sampai halus sehingga memudahkan dalam pemerataan ragi pada permukaan bahan. bahan yang sudah diberi ragi ini kemudian disimpan dalam kardus berlubang yang dialasi dengan daun pisang agar tidak terkontaminasi oleh mikroba lain. Struktur daun pisang yang berpori ini memungkinkan kapang tetap bisa mengambil oksigen dari lingkungan. Kebanyakan kapang termasuk A. rouxii termasuk mikroba aerob yang membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya.
Langkah terakhir adalah menyimpan bahan ini dalam incubator pada suhu kamar. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa kebanyakan kapang bersifat mesofilik, yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kapang adalah sekitar 35-30 derajat Celcius, tapi beberapa dapat tumbuh pada suhu 37 derajat celcius atau lebih tinggi.
Kebanyakan kapang dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu 2 - 8,5 tetapi biasanya pertumbuhan akan baik pada kondisi pH rendah/asam (Fardiaz,1992).
Pada proses inkubasi ini, kapang mengalami fase adaptasi (lag) dan pertumbuhan eksponensial (log).
Pertumbuhan kapang biasanya berjalan lebih lambat dibandingkan dengan bakteri dan khamir. Tetapi sekali kapang dapat mulai tumbuh, pertumbuhan yang ditandai dengan pembentukan miselium dapat berlangsung lebih cepat (Fardiaz,1992)
Pada fase adaptasi, kapang tidak melakukan proses apapun kecuali aktivitas penyesuaian diri terhadap lingkungan yang baru. Jumlah kapang relatif tetap bahkan terkadang menurun. Semakin lama fase adaptasi, maka akan semakin lama pula proses pembuatan tape, sehingga tahap ini perlu diminimalkan dengan pemakaian kapang dan substrat dalam jumlah yang sesuai. Pada fase log, jumlah kapang naik tajamsehingga kadang memberi penampakan yag kurang menarik pada tape. Pada fase log ini, kapang mulai melakukan proses fermentasi karbohidrat. Fermentasi dilakukan dengan cara menghidrolisa pati menjadi maltosa dan glukosa, yang selanjutnya sakarida ini difermentasi menjadi alcohol dan asam-asam organic pendukung flavor dan aroma yang enak (Sudarmadji,1989). Pembuatan tape berlangsung selama kurang lebih 2-3 hari. Lamanya pembuatan tape ini disebabkan karena lambatnya pertumbuhan kapang.
Fermentasi dinyatakan cukup bila telah terbentuk tekstur yang lunak, rasa manis, dan aroma yang khas. Lama fermentasi tergantung pada suhunya, biasanya berkisar antara 48-72 jam.. Perubahan biokimia yang pertama pada fermentasi tape adalah hidrolisis molekul pati menjadi maltosa dan glukosa sehingga rasanya manis dan fermentasi sebagian gula menjadi alkohol dan asam organik (Sudarmadji,1989).
Tape yang dibuat kelompok 4 memberi penampakan khas sebagaimana tape pada umumnya. Perubahan yang terjadi pada pembuatan tape ini antara lain :
- rasanya asam. Hal ini disebabkan karena nilai pH selama fermentasi tape turun dari pH 6 menjadi pH 3,5 tetapi pada umumnya pH mencapai 4
- bahan menjadi lunak/kenaikan kadar cairan. Selama fermentasi tape ubi volume cairan cenderung meningkat. Hal ini disebabkan selama hidrolisa pati menjadi gula sederhana, perubahan sebagai gula menjadi asam organik dan alkohol, serta pembentukan ester terjadi pelepasan air
- agak manis. Hal ini disebabkan Karen penambahan gula pada ketela sebelum dicampuri ragi
- terbentuk alcohol, CO2, dan energi panas
- ditumbuhi kapang yang menyebar di permukaan tape
Salah satu kelemahan makanan yang difermentasi oleh kapang dibandingkan makanan yang difermentasi khamir dan bakteri adalah adanya pertumbuhan miselium kapang pada permukaan makanan yang mempengaruhi penampakan makanan tersebut. Begitu juga dengan tape ini, bagi yang tak biasa melihat dan mengkonsumsinya mungkin merasa agak risih melihat tape yang ditumbuhi mikroba putih-putih di permukaanya.
Reaksi kimia yang terjadi pada pembuatan tape ini adalah perubahan polisakarida (pati) menjadi gula sederhana kemudian gula sederhana ini difermentasi lanjut menjadi alcohol dan CO2. Fermentasi glukosa pada prinsipnya terdiri dari dua tahap :
1. pemecahan rantai karbon dari glukosa dan pelepasan paling sedikit dua pasang atom hidrogen menghasilkan senyawa karbon lainnya yang lebih teroksidasi daripada glukosa.
2. senyawa yang teroksidasi tersebut direduksi kembali oleh atom hydrogen yang dilepaskan dalam tahap pertama, membentuk senyawa-senyawa lain sebagai hasil fermentasi. Reaksi oksidasi tidak dapat berlangsung tanpa reaksi reduksi yang seimbang. Oleh karena itu jumlah atom hydrogen yang dilepaskan dalam tahap pertama fermentasi selalu seimbang dengan jumlah yang digunakan dalam tahap kedua.
Dalam tahap fermentasi glukosa selalu terbentuk asam piruvat. Pada pembuatan tape ini, jalur pemecahan glukosa menjadi asam piruvat melalui jalur EMP (Embden-Meyerhoff-Parnas)¬¬¬¬¬¬¬. Reaksi yang terjadi :
Glukosa + 2 (ADP + 2 NAD+¬ + Pi)  2 piruvat + 2 ATP + 2(NADH + H+)
Pada tahap kedua fermentasi, asam piruvat akan diubah menjadi alcohol menggunakan atom hydrogen yang terbentuk pada tahap pertama di atas dengan bantuan kataliator berupa enzim yang dihasilkan kapang.
Melalui pangamatan di bawah mikroskop, tampak gambar ragi yang digunakan dalam pembuatan tape ini. Struktur kapang dalam gambar ini berupa kumpulan sel-sel tunggal mirip khamir dan berbentuk bulatan-bulatan.

2. Yogurt
Yogurt merupakan bahan pangan yang cukup bergizi dan enak rasanya. Yogurt dibuat dengan cara fermentasi susu, sehingga akan merubah komposisi susu sedemikian rupa sehingga nilai gizinya akan bertambah.

Kandungan gizi yogurt :
Kalori (kal) 52
Protein (gr) 3,3
Lemak (gr) 2,5
Hidrat arang (gr) 4,0
Ca (mg) 120
P (mg) 90
Fe (mg) 0,1
Vit A (SI) 73
Vit B1 (mg) 0,04
Vit C (mg) 0
Air (gr) 88
b.d.d.(%) 100

Nurwantoro (1997) menyatakan bahwa susu merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini karena komposisi nutrisinya sangat ideal untuk pertumbuhan mikroba
Pembuatan yogurt dimulai dengan penyiapan kultur starter bakteri asam laktat homofermentatif yaitu Lactobacilllus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus. Keduanya merupakan bakteri yang mampu mengubah gula/karbohidrat dalam susu menjadi asam laktat. Keduanya diambil sebanyak 1 mL dari tempat penyimpanannya dengan menggunakan pipet (karena cairan) dan dipindahkan ke medium baru (9 mL) berupa susu dalam 2 tabung reaksi yang berbeda. Sebelum dicampuri bakteri, susu divorteks dulu agar komposisi larutan merata. Susu merupakan sumber nutrient bagi untuk pertumbuhan bakteri. Pemindahan dilakukan secara aseptis agar tidak tercampuri mikroba lain yang tidak diinginkan. Starter ini kemudian didiamkan dalam incubator pada suhu kamar selama 24 jam. Tujuaan tahap penyiapan starter ini adalah untuk pembibitan (scale up) bakteri agar biomassanya bertambah dengan cepat. Pada tahap ini bakteri akan mengalami fase adaptai (lag), pertumbuhanj awal, dan log. Fase-fase ini berlangsung kurang lebih selama satu hari. Pada fase log, bakteri bisa mulai dipindahkan ke substrat untuk melakukan fermentasi.
Pada pembuatan yogurt ini, bakteri dari media simpan tidak langsung dicampurkan ke substrat dalam Erlenmeyer agar fase adaptasinya tidak terlalu lama. Pada fase adaptasi, bakteri tidak melakukan aktifitas apa-apa kecuali aktivitas penyesuaian diri terhadap lingkungan. Bila fase ini terlalu lama tentu saja merupakan kerugian bagi industri. Selain itu fase inipun juga belum tentu berhasil, sehingga bila fase ini gagal tentu saja kerugian yang ditanggung juga lebih besar.
Tahap selanjutnya adalah menyiapkan substrat yang akan difermentasi kemudian dilanjutkan dengan pencampuran kultur bakteri. Pembuatan substrat dimulai dengan mencampur 80 mL susu UHT, 4 gr susu skim, 24 gr gula pasir, dan 5 tetes essence (coklat) dalam erlenmeyer. . Susu UHT dan skim di sini berfungsi sebagai sumber nutrien bagi bakteri, selain itu susu skim juga berfungsi sebagai pengental yogurt. Yogurt dari susu skim ini akan mengandung sedikit lemak atau tidak sama sekali. Muchtadi (1980) menyatakan bahwa susu skim merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri karena mengandung gula laktosa, protein, kasein dan vitamin-vitamin mineral, mineral serta air. Hasil akhir kegiatan bakteri terhadap susu tergantung pada apa yang diuraikan oleh bakteri tersebut, yaitu karbohidrat atu protein.
Gula berfungsi sebagai pemanis agar yogurt tidak terlalu masam. Essence berfungsi untuk memperkaya rasa yogurt. Penambahan ekstrak tape juga dapat memberikan nuansa flavor yang khas, hanya saja penambahan ekstrak tape ini dilakukan kelompok lain.
Langkah selanjutnya adalah melakukan pasteurisasi selama 15 menit dengan cara mengukus Erlenmeyer tadi dalam panci (dandang). Hal ini bertujuan untuk membunuh mikroba lain yang mungkin terikut dalam substrat agar tidak mengganggu proses fermentasi susu atau menghasilkan zat-zat berbahaya bagi manusia. Setelah 15 menit, erlenmeyer diambil dan didinginkan dengan cara merendam alas erlenmeyer dengan air agar proses pendinginan lebih cepat. Pendinginan ini bertujuan agar starter yang akan ditambahkan nanti tidak mati.
Starter yang telah berumur satu hari diambil dari inkubator lalu divorteks agar campuran merata lalu ditambahkan ke dalam substrat dalam erlenmeyer terebut. Kemudian campuran baru ini dipindahkan ke dalam cup (gelas) dan plastik bersih lalu disimpan dalam incubator pada suhu kamar selama 24 jam. Pada proses inkubasi ini, mikroba juga mengalami fase adaptasi, pertumbuhan awal, dan log.
Dalam hal ini yang dominan mula-mula adalah S. thermophillus sehingga dapat menghasilkan asam laktat. Tetapi pertumbuhan selanjutnya, bakteri ini akan terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri. Oleh karena itu bakteri ini akan akan menjadi inaktif (memasuki fase stasioner) sehingga kemudian akan tumbuh bakteri jenis L. bulgaricus yang lebih toleran terhadap[ asam daripada S. thermophillu. Lactobacillus ini juga akan menghasilkan asam lebih banyak lagi sampai jumlah tertentu yang dapat menghambat pertumbuhannya. Selama pembentukan asam tersebut pH susu akan turun sehingga terbentuk ''curd" (dadih) susu (Winarno,1980).
Jadi kedua mikroba tersebut tumbuh bersama secara simbiosis. S. thermophyllus tumbuh terlebih dulu karena dirangsang oleh glisin dan histidin sebagai hasil degradasi oleh L. bulgaricus. Sedangkan lactobacillus bulgaricus akan tumbuh dengan pesat setelah Streptococcus thermophyllus memasuki fase stasioner dan pertumbuhannya dirangsang oleh adanya CO2 yang dihasilkan Streptococcus thermophyllus.
Sudarmadji (1989) menyatakan bahwa kedua mikrobia tersebut tumbuh secara bersama-sama. Lactobacillus menghidrolisa protein menjadi asam amino dan dipeptida untuk menstimulasi pertumbuhan Streptococcus dan kemudian terjadi pengasaman susu. Pembentukan flavor dan asam laktat serta asetoldehid memberikan produk spesifik L. bulgaricus pembentuk lendir juga merupakan stabilizer produk yogurt.
Kasein merupakan protein utama dalam susu. Kasein dalam susu terdapat sebagai suspensi koloid yang memberikan warna putih "opaque" (tidak tembus cahaya) pada susu. Fermentasi laktosa akan menhasilkan asam yang akan menurunkan pH larutan. Bila keasaman meningkat, kasein akan menggumpal dan diikuti dengan keluarnya cairan (whey) dari gumpalan kasein (curd). Apabila mikroba yang memfermentasi gula susu terebut membentuk gas, maka gelembung-gelembung gas tersebut akan membuat lubang pada gumpalan kasein (Muchtadi,1980).
Pada praktikum ini, kelompok 4 berhasil dalam membuat yogurt. Hal ini ditandai dengan penampakan/karakteristik yang sama dengan yogurt pada umumnya, yaitu berasa asam, semi solid, putih dan aroma khas. Rasa asam disebabkan karena terbentuknya asam laktat dalam proses fermentasi, sedangkan struktur semi solid dikarenakan oleh kenaikan asam yang mengakibatkan kasein menjendal.
Meskipun yogurt mampu memperlama proses kerusakan susu, namun yogurt juga mempunyai umur simpan terbatas Winarno (1980) menyatakan bahwa pada keasaman yang tinggi Lactobacillus akan mati dan kemudian tumbuh ragi dan kapang yang lebih toleran terhadap asam. Kapang akan mengoksidasi asam, sedangkan ragi akan menghasilkan hasil-hasil akhir yang bersifat basa dari reaksi proteolisis, sehingga keduanya menurunkan asam sampai titik dimana bakteri pembusuk proteolitik dan lipotik akan mencerna curd dan menghasilkan gas serta bau busuk.
Hubungan antara jumlah asam dan pertumbuhan mikroba pada susu dapat dilihat pada gambar berikut : (maaf tidak bisa ditampilkan).

Struktur fisik kedua bakteri yang digunakan dalam pembuatan yogurt ini dapat dilihat melalui mikroskop dengan perbesaran 10 x 16. Struktur Lactobacillus berupa batang (baksil) panjang yang tersusun secara menggerombol. Sedangkan struktur Streptococcus berbentuk bulat yang tersususn secara mengggerombol/berantai.
Yogurt hasil praktikum kelompok 4 dikemas dalam bentuk cup kecil dengan netto 28,7 gr. Selain itu yogurt juga dikemas dalam bentuk lain yaitu dikemas dalam plastic es. Model pengemasan ini memudahkan konsumen dalam mengamati barang yang akan dibelinya dan memudahkan dalam membawanya. Dilihat secara sepintas dari cara pengemasannya dapat ditebak tentang segmentasi pasar kedua jenis produk tersebut. Untuk produk dengan kemasan cup ditujukan di segmen menengah ke atas, sedangkan produk dengan kemasan plastic bagi kalangan menengah ke bawah. Pembedaan jenis segmen ini tentu saja menuntut pembedana harga, sehingga produk dengan kemasan cup hendaknya dijual/kg-nya lebih mahal daripada yang kemasan plastic.
Untuk menarik calon pembeli maka perlu pelabelan kemasan. Hal ini berfungsi sebagai langkah product differentiation agar produk perusahaan tampil beda dengan produk lain yang sudah ada. Label dibuat semenarik mungkin dengan pewarnaan, rangkaian kata, informasi produsen dan berat netto produk. Produk kelompok 4 ini diberi merk 'frushy' yang memberi image rasa segar (fresh) pada konsumen. Rasa coklat yang merupakan flavour utama produk ini diinformasikan dengan tulisan dan warna menarik sehingga konsumen ingin membelinya. Ditambahkan pula dalam kemasan ini rangkaian kata 'fresh yogurt from us for you' yang mengesankan pada konsumen tentang kenikmatan produk, upaya pelayanan konsumen serta penjagaan mutu produk.

3. BEPA
BEPA merupakan salah satu cara penentuan berapa kapasitas produk (dalam satuan rupiah maupun unit produk) yang harus dihasilkan agar perusahaan tidak untung dan untuk rugi. Dalam pembuatan yogurt ini, penentuan nilai BEP dimulai dengan mengklasifikasikan bahan-bahan dan alat-alat produksi yang termasuk biaya tetap (FC) maupun biaya variable (VC).
Suatu bahan dan alat dikatakan termasuk FC bila biaya bahan dan alat tersebut tidak dipengaruhi oleh kapasitas produksi yang dihasilkan selama periode produksi tertentu. Yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah kompor gas, tabung gas, dandang, sendok, tabung reaksi, pipet, dan pengaduk. FC untuk barang-barang ini merupakan nilai biaya yang harus dikeluarkan tiap tahun (A).
Bila telah diketahui tingkat suku bunga yang sedang berlaku, harga barang, dan umur ekonomisnya, maka nilai annual (A) barang tersebut bias dicari dengan menggunakan rumus :
A = { P( i ( 1 + i )n} : { (1 + i)n – 1} ¬¬;
dimana i = 1,08 % dan n = lama umur ekonomis
Contoh perhitungan :
A (kompor gas) = {Rp 24.000,00*(0,0108*(1+0,0108)60} : {(1+0,0108)60 1}
A = Rp 5.455,82
Demikian seterusnya untuk barang-barang yang termasuk kategori ini dicari nilai annualnya kemudian dijumlahkan. Jumlah dari nilai annual ini disebut sebagai TFC. Dari hasil perhitungan, diketahui nilai TFC dalam produksi yogurt ini sebesar Rp 14.940,695.
Suatu bahan dan alat dikatakan termasuk kategori barang yang menimbulkan VC jika biaya yang harus dikeluarkan untuk barang tersebut berubah-ubah secara proporsional sesuai perubahan kapasitas produksi. Yang termasuk dalam kategori barang-barang ini antara lain essence, susu skim, susu UHT, kemasan cup, kemasan plastic, gula pasir, merk produk, gas, tenaga kerja, dan starter. Nilai VC tiap barang dihitung dengan rumus yang sama dengan di atas. Total dari VC ini disebut sebagai TVC. Dari hasil perhitungan, diketahui nilai TVC dalam produksi yogurt ini sebesar Rp 1.655.759,37.
Dengan diketahuinya nilai TFC dan TVC ini maka dapat dicari pula nilai TC (Total Cost) dengan rumus
TC = TFC + TVC = Rp 14.940,695 + Rp 1.655. 759,37
Sehingga diperoleh nilai TC sebesar Rp 1.670.700,065.
Bila besar profit yang diinginkan adalah sebesar 10 % dari TC, maka : Profit = 10 % * Rp 1.670.700,065
= Rp 167.070,0065
Dan bila perusahaan bekerja selama 25 hari per bulan dengan kapasitas produksi per harinya sebesar 184,23 gr maka kapasitas produksi per bulannya sebesar :
A = 25 hari * jumlah produksi dalam 1 hari
= 25 * 184,23= 4.605,75 gr
= 4,606 kg
Dengan diketahuinya nilai-nilai ini maka dapat dicari besarnya harga jual yogurt tiap kg-nya dengan rumus :
Price (P) = (TC + profit) : A
P = Rp ( 1.670.700,065 +167.070,0065) : 4,606 kg
P = Rp 398.994,805 /kg
Sehingga total penjualan (S) per bulan :
S = A*P= 4,606 kg*Rp 398.994,805 /kg
= Rp 1.837.770,071
Untuk mencari nilai titik impas agar perusahaan tidak untung dan tidak rugi, maka dapat digunakan rumus :
BEP (dalam kg) = TFC : {P-(TVC/A)}
= Rp 14.940,695 : { Rp 398.994,805-(Rp 1.655. 759,37/4,606 kg)}
= 0.379 kg
BEP (dalam Rp) = TFC : {P-(TVC/S)}
= Rp 14.940,695 : { Rp 398.994,805-(Rp 1.655. 759,37/ Rp 1.837.770,071)}
= Rp 150.856,856
Jadi, bila perusahaan ingin mendapatkan untung maka perusahaan harus mampu menjual produk yogurtnya di atas 0,379 kg atau hasil jualnya di atas Rp 150.856,856.


RINGKASAN




1. Fermentasi ketela menjadi tape menggunakan jasa kapang A.rouxii. Bentuk kapang ini mirip khamir (unisel)
2. Perubahan yang terjadi pada pembuatan tape adalah : polisakarida (pati)  gula sederhana (glukosa dan maltosa)  alcohol dan CO2. Perubahan ini memberi aroma, rasa dan tekstur yang khas pada tape.
3. Yogurt merupakan bahan pangan dari susu yang difermentasi dengan menggunakan bakteri asam laktat Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus . bentuk kedua bakteri tersebut berupa bulatan (cocus) dan batang (baksil) panjang. Kedua jenis bakteri tersebut hidup secara menggerombol.
4. Pegolahan susu menjadi yogurt mampu meningkatkan kadar gizi, nilai ekonomi, dan umur simpan susu.
5. Aroma, rasa, tekstur, dan kandungan zat dalam yogurt berbeda dengan bahan asalnya
6. Rasa asam pada yogurt karena adanya asam laktat yang dihasilkan bakteri asam laktat.
7. Penjendalan (struktur semi solid) pada yogurt disebabkan oleh kenaikan asam (penurunan pH) yang mengakibatkan protein (kasein) dalam susu menjendal
5. Produksi yogurt membuka banyak alternative/peluang bisnis dalam dunia industri pangan
6. Pengkayaan dan penganekaragaman flavour dan rasa yogurt merupakan salah satu cara pengembangan segmentasi pasar dan pemosisian produk yogurt yang baik
7. Pembuatan yogurt harus benar-benar aseptis agar tidak terjadi kegagalan produksi dan terjadinya bahaya akibat aktivitas mikroba _ias_gen
8. Nilai BEP merupakan nilai yang menunjukkan jumlah produk yang harus terjual agar erusahaan tidak untung dan tidak rugi.
9. Pada praktikum ini, nilai BEP yogurt = 0.379 kg
= Rp 150.856,856


Ditulis oleh : Mahmud Hasan
Dari Laporan Praktikumnya
(Maaf bila analisa belum mendalam).

**Dasar Teori Praktikum Mikrobiologi Industri : Yogurt plus Tape** Lanjutan

A. Bahan
1. singkong/ketela pohon
2. air (aquadest)
3. ragi tape (Amylomyces rouxii)
4. medium MRS agar dan broth
5. susu UHT
6. susu skim
7. kultur starter Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus
8. essens coklat (atau yang lainnya : mocca)
9. yogurt

B. Alat
1. pisau
2. panci (dandang)
3. daun pisang
4.besek (kardus) dan plastik
5. blender
6. kompor
7 kipas angin
8. stop watch
9. timbangan
10. tabung reaksi
11. ose bermata
12. pipet
13. lampu spirtus
14. alkohol dan tissue
15. erlenmeyer 100 mL
16. plastik es dan cup
17. inkubator suhu 42 C
18. kalkulator
19. mikroskop
20. gelas preparat

C. Cara Kerja
1. Praktikum hari I (20 September 2004)
• Pembuatan tape
a) ketela pohon yang akan dibuat menjadi tape disiapkan sesuai kebutuhan
b) ketela ditimbang
c) kulit ketela dikupas lalu dicuci
d) ketela dikukus sampai matang dalam dandang
e) setelah matang, ketela diambil dan dicampuri gula dalam keadaan ketela masih panas
f) ketela didinginkan dengan kipas angin
g) ketela dipindahkan ke dalam kardus beralas daun pisang lalu ditaburi ragi pada permukaan ketela
h) ketela ditutup dengan daun pisang dan kardus,lalu bahan ini disimpan dalam incubator pada suhu kamar selama 3 hari


2. Praktikum hari II (2 Oktober 2004)
• Mengamati ragi tape
a) tape yang sudah jadi diambil dari incubator
b) lalu rasa, tekstur, dan aroma tape diamati
c) ragi yang menempel pada permukaan tape diambil sedikit dengan menggunakan ose bermata
d) ragi ditaruh di gelas preparat
e) struktur yang tampak diamati dengan mikroskop dan digambar

3. Praktikum hari III (7 Oktober 2004)
• Penyiapan kultur starter yogurt
a) buat 1 mL MRS broth (L. bulgaricus dan S. thermophillus)
b) campur ke medium susu (masing-masing 9 mL) dalam tabung reaksi secara aseptis.
c) beri label nama bakteri dan kelompok praktikan
• Pembuatan yogurt
a) siapkan : - susu UHT (cair) sebanyak 140 mL bila menggunakan rasa tape atau 80 mL bila menggunakan plain dan essens(kelompok 4 menggunakan essense coklat)
b) susu skim 4 gr
c) gula pasir 24 gr
d) campur flavour dengan 5-6 tetes atau ekstrak tape 40 ml
e) pasteurisasi selama 15 menit (dikukus dalam dandang di atas kompor) lalu dinginkan
f) ambil starter yang sudah disiapkan (Streptococcus thermophillus 10 mL dan Lactobacillus bulgaricus 10 mL) lalu di vorteks
g) campur starter dalam erlenmeyer secara aseptis
h) kemas yogurt dengan 2 cup dan 2 plastik es
i) beri label dan simpan dalam lemari es
Catt. : waktu tiap operasi ditimbang dan dicatat.

4.Praktikum hari IV (8 Oktober 2004)
• Pengamatan mikrobiologi struktur kultur starter Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus
a) siapkan gelas preparat, lampu spirtus dan pipet bersih
b) ambil starter secukupnya (1-2 tetes) dari tabung reaksi dan pindahkan ke gelas preparat secara aseptis
c) amati dan gambar kultur starter serta catat perbesaran mikroskop yang digunakan

• Pengamatan tekstur, aroma dan rasa yogurt
a) ambil yogurt dari lemari inkubator
b) ambil sedikit yogurt dengn sendok dan amatai tekstur, warna, aroma maupun rasa yang terbentuk

5. Praktikum hari V (9 Oktober 2004)
• Analisa biaya
a) identifikasi bahan-bahan dan alat yang digunakan dalam produksi (tape maupun) yogurt
b) pilah mana yang termasuk FC dan VC
c) tentukan harga bahan dan alat yang digunakan serta umur ekonominya dan tingkat suku bunga yang berlaku
d) cari nilai annual tiap bahan dan alat, lalu jumlahkan
e) tentukan laba yang diinginkan
f) hitung nilai BEP
05:05 mahmud

**Dasar Teori Praktikum Mikrobiologi Industri : Yogurt plus Tape** Lanjutan

A. Bahan
1. singkong/ketela pohon
2. air (aquadest)
3. ragi tape (Amylomyces rouxii)
4. medium MRS agar dan broth
5. susu UHT
6. susu skim
7. kultur starter Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus
8. essens coklat (atau yang lainnya : mocca)
9. yogurt

B. Alat
1. pisau
2. panci (dandang)
3. daun pisang
4.besek (kardus) dan plastik
5. blender
6. kompor
7 kipas angin
8. stop watch
9. timbangan
10. tabung reaksi
11. ose bermata
12. pipet
13. lampu spirtus
14. alkohol dan tissue
15. erlenmeyer 100 mL
16. plastik es dan cup
17. inkubator suhu 42 C
18. kalkulator
19. mikroskop
20. gelas preparat

C. Cara Kerja
1. Praktikum hari I (20 September 2004)
• Pembuatan tape
a) ketela pohon yang akan dibuat menjadi tape disiapkan sesuai kebutuhan
b) ketela ditimbang
c) kulit ketela dikupas lalu dicuci
d) ketela dikukus sampai matang dalam dandang
e) setelah matang, ketela diambil dan dicampuri gula dalam keadaan ketela masih panas
f) ketela didinginkan dengan kipas angin
g) ketela dipindahkan ke dalam kardus beralas daun pisang lalu ditaburi ragi pada permukaan ketela
h) ketela ditutup dengan daun pisang dan kardus,lalu bahan ini disimpan dalam incubator pada suhu kamar selama 3 hari


2. Praktikum hari II (2 Oktober 2004)
• Mengamati ragi tape
a) tape yang sudah jadi diambil dari incubator
b) lalu rasa, tekstur, dan aroma tape diamati
c) ragi yang menempel pada permukaan tape diambil sedikit dengan menggunakan ose bermata
d) ragi ditaruh di gelas preparat
e) struktur yang tampak diamati dengan mikroskop dan digambar

3. Praktikum hari III (7 Oktober 2004)
• Penyiapan kultur starter yogurt
a) buat 1 mL MRS broth (L. bulgaricus dan S. thermophillus)
b) campur ke medium susu (masing-masing 9 mL) dalam tabung reaksi secara aseptis.
c) beri label nama bakteri dan kelompok praktikan
• Pembuatan yogurt
a) siapkan : - susu UHT (cair) sebanyak 140 mL bila menggunakan rasa tape atau 80 mL bila menggunakan plain dan essens(kelompok 4 menggunakan essense coklat)
b) susu skim 4 gr
c) gula pasir 24 gr
d) campur flavour dengan 5-6 tetes atau ekstrak tape 40 ml
e) pasteurisasi selama 15 menit (dikukus dalam dandang di atas kompor) lalu dinginkan
f) ambil starter yang sudah disiapkan (Streptococcus thermophillus 10 mL dan Lactobacillus bulgaricus 10 mL) lalu di vorteks
g) campur starter dalam erlenmeyer secara aseptis
h) kemas yogurt dengan 2 cup dan 2 plastik es
i) beri label dan simpan dalam lemari es
Catt. : waktu tiap operasi ditimbang dan dicatat.

4.Praktikum hari IV (8 Oktober 2004)
• Pengamatan mikrobiologi struktur kultur starter Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus
a) siapkan gelas preparat, lampu spirtus dan pipet bersih
b) ambil starter secukupnya (1-2 tetes) dari tabung reaksi dan pindahkan ke gelas preparat secara aseptis
c) amati dan gambar kultur starter serta catat perbesaran mikroskop yang digunakan

• Pengamatan tekstur, aroma dan rasa yogurt
a) ambil yogurt dari lemari inkubator
b) ambil sedikit yogurt dengn sendok dan amatai tekstur, warna, aroma maupun rasa yang terbentuk

5. Praktikum hari V (9 Oktober 2004)
• Analisa biaya
a) identifikasi bahan-bahan dan alat yang digunakan dalam produksi (tape maupun) yogurt
b) pilah mana yang termasuk FC dan VC
c) tentukan harga bahan dan alat yang digunakan serta umur ekonominya dan tingkat suku bunga yang berlaku
d) cari nilai annual tiap bahan dan alat, lalu jumlahkan
e) tentukan laba yang diinginkan
f) hitung nilai BEP
**Dasar Teori Praktikum Mikrobiologi Industri : Yogurt plus Tape**

Yogurt merupakan bahan pangan yang cukup bergizi dan enak rasanya. Yogurt dibuat dengan cara fermentasi susu. Sehingga akan merubah komposisi susu sedemikian rupa sehingga nilai gizinya akan bertambah.
Yoghurt kini makin populer di kalangan masyarakat. Bukan saja karena cita rasanya yang spesifik, tetapi yoghurt dikenal memiliki peranan penting bagi kesehatan tubuh. Yoghurt cukup aman dikonsumsi bagi orang yang diare bila minum susu karena tidak mampu mencerna laktosa atau yang disebut penderita lactose intolerance. Yoghurt juga mampu menurunkan kolesterol darah, menjaga kesehatan lambung dan mencegah kanker saluran pencernaan. Berbagai peranan tersebut terutama karena adanya bakteri yang digunakan dalam proses fermentasi yoghurt.
Yoghurt mengandung bakteri hidup sebagai probiotik, yaitu mikroba dari makanan yang menguntungkan bagi mikroflora di dalam saluran pencernaan. Sejauh ini jenis probiotik yang paling umum adalah bakteri asam laktat dari golongan Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus themophilus, dan Lactobacillus casei. Di dalam yoghurt biasanya mengandung jutaan hingga milyaran sel bakteri-bakteri ini setiap mililiternya.
Yogurt sangat banyak manfaatnya bagi kesehatan tubuh antara lain :
• Menyehatkan pencernaan Sejumlah ahli membeberkan beberapa manfaat yang dapat dipetik dari konsumsi yogurt bilamana dilakukan secara teratur, antara lain;
1) Yoguhurt dapat menghasilkan zat-zat yang diperlukan oleh hati sehingga berguna untuk pencegahan penyakit kanker,
2) Mikroba pada yogurt bermanfaat untuk proses pencernaan di dalam tubuh, sehingga baik sekali dikonsumsi bagi mereka yang memiliki masalah perut yang tidak beres.
3) Yogurt memiliki gizi yang tinggi bahkan lebih tinggi dibandingkan susu segar. Kandungan lemak lebih rendah, sehingga cocok bagi mereka yang sedang menjalankan program diet rendah kalori.
4) Yogurt memproduksi vitamin tambahan, meningkatkan nilai gizi serta membantu pertumbuhan.
5) Yogurt sebagai minuman yang berfungsi sebagai antimikroba yang mampu melawan mikroba “jahat” di dalam tubuh.
6) Yogurt mampu mengurangi kolesterol, karena selama pertumbuhannya bakteri yogurt menyerap sejumlah zat kolesterol ke dalam selnya. Penyerapan ini dapat terjadi di usus kecil dan membantu mengurangi kolesterol dalam darah, sehingga dapat menghindari gejala penyakit jantung koroner.
7) Memerangi kanker dan tumor serta meningkatkan kekebalan tubuh.
Di dalam lambung dan usus halus manusia hidup bermilyar-milyar mikroflora yang sebagian besar adalah bakteri asam laktat. Bakteri dari yoghurt dapat hidup dan bersimbiose dengan mikroflora tersebut. Pertumbuhan bakteri-bakteri ini memberikan kondisi yang dapat mencegah pertumbuhan mikrobia lain khususnya mikrobia patogen. Selain itu, bakteri asam laktat mampu membentuk asam-asam organik serta hidrogen peroksida dan bakteriosin. Pembentukan senyawa-senyawa ini, khususnya bakteriosin, dapat bersifat mikrosidal atau mematikan mikrobia lain.
Terhambatnya pertumbuhan dan matinya mikrobia patogen di dalam lambung dan usus halus berarti terhindarnya kemungkinan munculnya penyakit akibat infeksi atau intoksikasi mikrobia. Dengan kata lain, mengonsumsi yoghurt secara teratur, jelas dapat membantu menjaga kesehatan saluran pencernaan. Dari suatu penelitian dilaporkan bahwa Lactobacillus casei subsp, yang digunakan dalam pembuatan yoghurt campuran susu skim dan susu kedelai terbukti dapat membunuh bakteri E. coli.
• Degradasi kolesterol
Probiotik mempunyai kemampuan menurunkan kolesterol darah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Lactobacillus sp, dapat menyerang kolesterol di dalam saluran pencernaan hewan percobaan. Penelitian lain pada beberapa orang yang mengonsumsi yoghurt secara teratur dalam jumlah dan waktu tertentu juga menunjukkan hasil yang serupa. Hasilnya jumlah kolesterol di dalam serum darah menurun.
Mekanisme penurunan kolesterol tersebut adalah bakteri asam laktat dapat mendegradasi kolesterol menjadi "coprostanol", yaitu sebuah sterol yang tidak dapat diserap oleh usus. Selanjutnya "coprostanol" dan sisa kolesterol dikeluarkan bersama-sama tinja hewan atau manusia. Dengan demikian jumlah kolesterol yang diserap tubuh menjadi rendah. Sebuah laporan menunjukkan bahwa penurunan kolesterol oleh strain bakteri Lactobacillus secara anaerobik dapat mencapai sekitar 27-38 persen.
Efek positif lain dari yoghurt ditunjukkan melalui kemampuannya mereduksi kanker saluran pencernaan. Diduga, adanya senyawa karsinogenik seperti nitrosamin yang masuk ke pencernaan dicegah penyerapannya oleh bakteri yang membentuk selaput protein dan vitamin. Akibatnya nitrosamin tersebut tidak dapat diserap dan dikeluarkan dari tubuh bersama tinja.
Beberapa penelitian tentang mekanisme pencegahan kanker oleh bakteri probiotik masih terus dilakukan oleh banyak peneliti. Misalnya aspek yang berkaitan dengan pengikatan mutagen, deaktivasi dan penghambatan karsinogen, respons kekebalan, dan pengaruh sekunder konsentrasi garam empedu. Demikian pula tentang efek yoghurt dan bakteri probiotik dalam menangkal alergi dan mengurangi gejala stres.
Dari segi gizi, yoghurt merupakan produk makanan yang kaya akan zat gizi. Komposisi zat gizinya mirip susu dan bahkan ada beberapa komponen seperti vitamin B kompleks, kalsium, dan protein justru kandungannya relatif tinggi. Memang selama fermentasi yoghurt terjadi sintesis vitamin B kompleks khususnya thiamin (vitamin B1) dan riboflavin (vitamin B2), serta beberapa asam amino penyusun protein. Jelas bahwa beberapa zat gizi penting untuk memperbaiki kondisi tubuh dan mencegah timbulnya penyakit tertentu. Bila konsumsi yoghurt mampu menurunkan kolesterol darah, maka kesehatan pembuluh darah dan jantung akan terjaga. Demikian pula dengan peranan yoghurt memberi kondisi mikroflora yang baik dalam saluran pencernaan berarti beberapa penyakit dapat dihindari atau dicegah. Oleh karena itu, baik secara langsung maupun tidak langsung konsumsi yoghurt secara teratur dan proporsional ikut berperan menunjang umur panjang seseorang. Kalau saja Metchnikoff masih sempat melihat perkembangan hasil penelitian yang ada hingga sekarang, tentu dia akan terus terseyum.

Tabel 1. Kandungan nilai gizi yogurt buah per 100 gram porsi buah : (maaf tidak bisa kami tampilkan)

Proses pembuatan yogurt ini tidak terlepas dari aktivitas bakteri asam laktat. Sudarmadji (1989) menyatakan bahwa bakteri asam laktat merupakan kelompok spesies kelompok bakteri yang mempunyai kemampuan untuk membentuk asam laktat dari metabolisme karbohidrat dan tumbuh pada pH lingkungan yang rendah. Secara ekologi kelompok bakteri ini sangat bervariasi dan anggotaspesiesnyadapat mendominasi macam-macam makanan, minuman, atau habitat lain seperti tanaman, jerami, rongga mulut maupun perut hewan. Bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri berbentuk batang atu kokus yang mempunyai karakteristik :
- gram positif
- tidak berspora
- tidak motil
- tidak membentuk pigmen
- katalase negative
- asam laktat merupakan senyawa utama hasil fermentasi karbohidrat
Nama kelompok ini mula pertama diperuntukkan bagi bakteri penyebab pengasaman dan koagulasi air susu melaluifermentasi laktosa, akan tetapi saat ini istilah bakteri asam laktat digunakan untuk kelompok bakteri yang berkarakteristik seperti tersebut di atas. Secara umum bakteri ini menghendaki senyawa nutrisi yang kompak dan pertumbuhannya distimulasi oleh suasana anaerob dan microarofil. Dalam media sintetik Streptococcus membutuhkan asam-asam amino seperti isoleusin, valin,leusin, histidin, metionin, arginin, dan prolin serta vitamin seperti masin kalsium pantotenat dan biotin.
Klasifikasi bakteri asam laktat dan karakterisasinya yang saat ini berlaku adalah yang terdapat dalam Bergey's Manual Systematic Bacteriology Vol II, dengan anggotanya terdiri dari dua famili yaitu Streptococcaceae dan Lactobacillaceae.
Secara ekologis bakteri asam laktat telah diisolasi dari berbagai macam jenis macam habitat termasuk manusia, hewan, tanaman, produk air susu, produk daging, jerami, sayuran, maupun minuman. Walaupun tampaknya bakteri ini ada di berbagai tempat tetapi beberapa species dapat mengadaptasi pada lingkungan yang spesifik dan tidak bisa di luar lingkungan tersebut.
Pengenalan Streptococcaceae diawali sekitar tahun 1873 oleh Joiseph Lister yang mencoba membuktikan teori Pasteur tentang perubahan dalam proses fermentasi. Pada saat itu dalam air susu yang telah dididhkan ditemukan suatu kultur murni bakteri dan kemudian dikenal sebagai Streptococcus lactis. Dan setelah penemuan itu penelitian dilanjutkan sehingga ditemukan metode penggunaan starter kultur murni dalam usaha menghasilkan produk fermentasi susu. Yang paling penting dalam ekologi Streptococcus non pathogen adalah dalam industri produksi susu. Salah satu species yang termasuk dan pada Streptococcaseae adalah S. thermophillus yang berperan dalam fermentasi laktosa menjadi asam laktat. Sebagai hasilnya pH akan turun sampai 4,5-5,6 dibanding pada susu segar 6,6-6,7 yang dalam hal ini penurunan pH mencegah pertumbuhan mikroba lain yang pathogen seperti Clostridium, Staphylococcus, Enterobacteriaceae dan mikroba gram negative psikrofil seperti Pseudomonas. Bila titik isoelektris kasein pada 4,6 – 4,8 dicapai akan terjadi penggumpalan dan pengendapan. Pengaruh ini digunakan untuk menggumpalkan produk keju, yogurt, susu asam, dan kasein.
Adapun genus Lactobaccilus diidentifikasi sebagai bakteri yang mempunyai ciri-ciri :
- gram positif
- berbentuk batang
- tidak berspora
- katalase negative
- tidak motil
- tidak mereduksi nitrat
- menggunakan glukosa secara fermentatif
Lactobaccilus memerlukan nutrisi komplek seperti karbohidrat, asam amino, peptide, asam lemak ester asam lemak, garam, turunan asam nukleat, serta vitamin. Metabolisme untuk menghasilkan ATP bersifat fermentative yang memproduksi asam laktat dalam jumlaah besar dan hasil samping yang sedikit sifat pembentukan ATP ini tidak dipengaruhi oleh adanya oksigen (Sudarmadji,1989).
Yogurt dibuat dengan mengasamkan susu menggunakan biakan murni bakteri. Terdapat dua spesies bakteri yang umum dipakai yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus. Bakteri tersebut mengubah laktosa susu menjadi asam laktat yang dengan bersama-sama dengan berbagai hasil lain membentuk flavour yogurt yang khas. Asam juga mengakibatkan koagulasi protein susu dan membantu mengawtkan yogurt. Berhubung yogurt dibuat dari susu, komposisi dan dan nilai gizinya menyerupai susu. Yogurt bebas lemak dibuat dari susu skim. Yogurt buah-buahan umumnya mengandung banyak karbohidrat karena, selain buah-buahn, umumnya mengandung gula tambahan (Gaman, 1992).
Sifat terpenting dari bakteri ini adalah kemapuannya u8ntuk meemfermentasi gula menjadi asam laktat. Karena produksi asam oleh bakteri asam laktat berlangsung secara cepat maka pertumbuhan mikroba lain yang tak diinginkan dapat terhambat (Faridaz, 1992).
Dalam pembuatan yogurt diperlukan bermacam-macam bahan, antara lain susu UHT, susu skim, dan gula pasir. Porter (1975) menyatakan bahwa susu UHT merupakan jenis susu yang sudah disterilisasikan secara kontinu dengan suhu cukup tinggi (276-304 F/ 135-150 0C) dalam waktu minimal 2 sekon. Biasanya susu dihomogenisasi dulu sebelum di perlakukan UHT sterilization. Prosedur UHT didasarkan pada penemuan bahwasanya proses yang makin tinggi suhunya dengan waktu yang makin singkat mampu menghasilkan produk yang bersih dari mikroba patogen tanpa banyak perubahanwarna dan flavour susu. Susu UHT dikemas dalam kontainer-kontainer kertas karton khusus tanpa resiko terkontaminasi mikroba. Umumnya digunakan tetra-pak cartons yaitu l;apisan plastik dan digaris dengan alumunium foil (kertas perak alumunium) yang menjamin susu tersebut terjaga dalam kondisi gelap. Cara UHT ini dapat mngurangi beberapa kandungan susu seperti vitamin C, asam lemak, dan vitamin B12.
Susu skim (skim milk or separated milk) merupakan susu yang seluruh lemaknya telah dihilangkan (kwantitas lemak yang tertinggal hanya sekitar 0,1 %). Susu skim tidak mengandung vitamin A, dan susu ini tidak cocok bagi bayi. Susu ini dikaimjuga dapat untuk pelangsing tubuh karena kandungan energinya yang hanya sekitar separuh dari susu murni (whole milk) dalam volume yang sama (Porter, 1975).
Gula dalam pembuatan yogurt ini berfungsi sebagai pemanis sehingga mampu mengurangi keasaman yogurt. Gula yang sebaiknya dipakai adalah gula alami seperti gula pasir (sukrosa), adapun penggunaan gula sintetis mempunyai pengaruh buruk bagi kesehatan tubuh meskipun harganya jauh lebih murah. Gula pasir termsuk disakarida (karbohidrat) yang biasanya berasal dari bit ataupun tebu. Disakarida ini larut dalam air dan mempunyai rasa manis. Sukrosa merupakan gabungan dua monosakarida, yaitu glukosa dan fruktosa.


Ditulis oleh : Mahmud Hasan
Dari berbagai sumber.
04:49 mahmud
**Dasar Teori Praktikum Mikrobiologi Industri : Yogurt plus Tape**

Yogurt merupakan bahan pangan yang cukup bergizi dan enak rasanya. Yogurt dibuat dengan cara fermentasi susu. Sehingga akan merubah komposisi susu sedemikian rupa sehingga nilai gizinya akan bertambah.
Yoghurt kini makin populer di kalangan masyarakat. Bukan saja karena cita rasanya yang spesifik, tetapi yoghurt dikenal memiliki peranan penting bagi kesehatan tubuh. Yoghurt cukup aman dikonsumsi bagi orang yang diare bila minum susu karena tidak mampu mencerna laktosa atau yang disebut penderita lactose intolerance. Yoghurt juga mampu menurunkan kolesterol darah, menjaga kesehatan lambung dan mencegah kanker saluran pencernaan. Berbagai peranan tersebut terutama karena adanya bakteri yang digunakan dalam proses fermentasi yoghurt.
Yoghurt mengandung bakteri hidup sebagai probiotik, yaitu mikroba dari makanan yang menguntungkan bagi mikroflora di dalam saluran pencernaan. Sejauh ini jenis probiotik yang paling umum adalah bakteri asam laktat dari golongan Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus themophilus, dan Lactobacillus casei. Di dalam yoghurt biasanya mengandung jutaan hingga milyaran sel bakteri-bakteri ini setiap mililiternya.
Yogurt sangat banyak manfaatnya bagi kesehatan tubuh antara lain :
• Menyehatkan pencernaan Sejumlah ahli membeberkan beberapa manfaat yang dapat dipetik dari konsumsi yogurt bilamana dilakukan secara teratur, antara lain;
1) Yoguhurt dapat menghasilkan zat-zat yang diperlukan oleh hati sehingga berguna untuk pencegahan penyakit kanker,
2) Mikroba pada yogurt bermanfaat untuk proses pencernaan di dalam tubuh, sehingga baik sekali dikonsumsi bagi mereka yang memiliki masalah perut yang tidak beres.
3) Yogurt memiliki gizi yang tinggi bahkan lebih tinggi dibandingkan susu segar. Kandungan lemak lebih rendah, sehingga cocok bagi mereka yang sedang menjalankan program diet rendah kalori.
4) Yogurt memproduksi vitamin tambahan, meningkatkan nilai gizi serta membantu pertumbuhan.
5) Yogurt sebagai minuman yang berfungsi sebagai antimikroba yang mampu melawan mikroba “jahat” di dalam tubuh.
6) Yogurt mampu mengurangi kolesterol, karena selama pertumbuhannya bakteri yogurt menyerap sejumlah zat kolesterol ke dalam selnya. Penyerapan ini dapat terjadi di usus kecil dan membantu mengurangi kolesterol dalam darah, sehingga dapat menghindari gejala penyakit jantung koroner.
7) Memerangi kanker dan tumor serta meningkatkan kekebalan tubuh.
Di dalam lambung dan usus halus manusia hidup bermilyar-milyar mikroflora yang sebagian besar adalah bakteri asam laktat. Bakteri dari yoghurt dapat hidup dan bersimbiose dengan mikroflora tersebut. Pertumbuhan bakteri-bakteri ini memberikan kondisi yang dapat mencegah pertumbuhan mikrobia lain khususnya mikrobia patogen. Selain itu, bakteri asam laktat mampu membentuk asam-asam organik serta hidrogen peroksida dan bakteriosin. Pembentukan senyawa-senyawa ini, khususnya bakteriosin, dapat bersifat mikrosidal atau mematikan mikrobia lain.
Terhambatnya pertumbuhan dan matinya mikrobia patogen di dalam lambung dan usus halus berarti terhindarnya kemungkinan munculnya penyakit akibat infeksi atau intoksikasi mikrobia. Dengan kata lain, mengonsumsi yoghurt secara teratur, jelas dapat membantu menjaga kesehatan saluran pencernaan. Dari suatu penelitian dilaporkan bahwa Lactobacillus casei subsp, yang digunakan dalam pembuatan yoghurt campuran susu skim dan susu kedelai terbukti dapat membunuh bakteri E. coli.
• Degradasi kolesterol
Probiotik mempunyai kemampuan menurunkan kolesterol darah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Lactobacillus sp, dapat menyerang kolesterol di dalam saluran pencernaan hewan percobaan. Penelitian lain pada beberapa orang yang mengonsumsi yoghurt secara teratur dalam jumlah dan waktu tertentu juga menunjukkan hasil yang serupa. Hasilnya jumlah kolesterol di dalam serum darah menurun.
Mekanisme penurunan kolesterol tersebut adalah bakteri asam laktat dapat mendegradasi kolesterol menjadi "coprostanol", yaitu sebuah sterol yang tidak dapat diserap oleh usus. Selanjutnya "coprostanol" dan sisa kolesterol dikeluarkan bersama-sama tinja hewan atau manusia. Dengan demikian jumlah kolesterol yang diserap tubuh menjadi rendah. Sebuah laporan menunjukkan bahwa penurunan kolesterol oleh strain bakteri Lactobacillus secara anaerobik dapat mencapai sekitar 27-38 persen.
Efek positif lain dari yoghurt ditunjukkan melalui kemampuannya mereduksi kanker saluran pencernaan. Diduga, adanya senyawa karsinogenik seperti nitrosamin yang masuk ke pencernaan dicegah penyerapannya oleh bakteri yang membentuk selaput protein dan vitamin. Akibatnya nitrosamin tersebut tidak dapat diserap dan dikeluarkan dari tubuh bersama tinja.
Beberapa penelitian tentang mekanisme pencegahan kanker oleh bakteri probiotik masih terus dilakukan oleh banyak peneliti. Misalnya aspek yang berkaitan dengan pengikatan mutagen, deaktivasi dan penghambatan karsinogen, respons kekebalan, dan pengaruh sekunder konsentrasi garam empedu. Demikian pula tentang efek yoghurt dan bakteri probiotik dalam menangkal alergi dan mengurangi gejala stres.
Dari segi gizi, yoghurt merupakan produk makanan yang kaya akan zat gizi. Komposisi zat gizinya mirip susu dan bahkan ada beberapa komponen seperti vitamin B kompleks, kalsium, dan protein justru kandungannya relatif tinggi. Memang selama fermentasi yoghurt terjadi sintesis vitamin B kompleks khususnya thiamin (vitamin B1) dan riboflavin (vitamin B2), serta beberapa asam amino penyusun protein. Jelas bahwa beberapa zat gizi penting untuk memperbaiki kondisi tubuh dan mencegah timbulnya penyakit tertentu. Bila konsumsi yoghurt mampu menurunkan kolesterol darah, maka kesehatan pembuluh darah dan jantung akan terjaga. Demikian pula dengan peranan yoghurt memberi kondisi mikroflora yang baik dalam saluran pencernaan berarti beberapa penyakit dapat dihindari atau dicegah. Oleh karena itu, baik secara langsung maupun tidak langsung konsumsi yoghurt secara teratur dan proporsional ikut berperan menunjang umur panjang seseorang. Kalau saja Metchnikoff masih sempat melihat perkembangan hasil penelitian yang ada hingga sekarang, tentu dia akan terus terseyum.

Tabel 1. Kandungan nilai gizi yogurt buah per 100 gram porsi buah : (maaf tidak bisa kami tampilkan)

Proses pembuatan yogurt ini tidak terlepas dari aktivitas bakteri asam laktat. Sudarmadji (1989) menyatakan bahwa bakteri asam laktat merupakan kelompok spesies kelompok bakteri yang mempunyai kemampuan untuk membentuk asam laktat dari metabolisme karbohidrat dan tumbuh pada pH lingkungan yang rendah. Secara ekologi kelompok bakteri ini sangat bervariasi dan anggotaspesiesnyadapat mendominasi macam-macam makanan, minuman, atau habitat lain seperti tanaman, jerami, rongga mulut maupun perut hewan. Bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri berbentuk batang atu kokus yang mempunyai karakteristik :
- gram positif
- tidak berspora
- tidak motil
- tidak membentuk pigmen
- katalase negative
- asam laktat merupakan senyawa utama hasil fermentasi karbohidrat
Nama kelompok ini mula pertama diperuntukkan bagi bakteri penyebab pengasaman dan koagulasi air susu melaluifermentasi laktosa, akan tetapi saat ini istilah bakteri asam laktat digunakan untuk kelompok bakteri yang berkarakteristik seperti tersebut di atas. Secara umum bakteri ini menghendaki senyawa nutrisi yang kompak dan pertumbuhannya distimulasi oleh suasana anaerob dan microarofil. Dalam media sintetik Streptococcus membutuhkan asam-asam amino seperti isoleusin, valin,leusin, histidin, metionin, arginin, dan prolin serta vitamin seperti masin kalsium pantotenat dan biotin.
Klasifikasi bakteri asam laktat dan karakterisasinya yang saat ini berlaku adalah yang terdapat dalam Bergey's Manual Systematic Bacteriology Vol II, dengan anggotanya terdiri dari dua famili yaitu Streptococcaceae dan Lactobacillaceae.
Secara ekologis bakteri asam laktat telah diisolasi dari berbagai macam jenis macam habitat termasuk manusia, hewan, tanaman, produk air susu, produk daging, jerami, sayuran, maupun minuman. Walaupun tampaknya bakteri ini ada di berbagai tempat tetapi beberapa species dapat mengadaptasi pada lingkungan yang spesifik dan tidak bisa di luar lingkungan tersebut.
Pengenalan Streptococcaceae diawali sekitar tahun 1873 oleh Joiseph Lister yang mencoba membuktikan teori Pasteur tentang perubahan dalam proses fermentasi. Pada saat itu dalam air susu yang telah dididhkan ditemukan suatu kultur murni bakteri dan kemudian dikenal sebagai Streptococcus lactis. Dan setelah penemuan itu penelitian dilanjutkan sehingga ditemukan metode penggunaan starter kultur murni dalam usaha menghasilkan produk fermentasi susu. Yang paling penting dalam ekologi Streptococcus non pathogen adalah dalam industri produksi susu. Salah satu species yang termasuk dan pada Streptococcaseae adalah S. thermophillus yang berperan dalam fermentasi laktosa menjadi asam laktat. Sebagai hasilnya pH akan turun sampai 4,5-5,6 dibanding pada susu segar 6,6-6,7 yang dalam hal ini penurunan pH mencegah pertumbuhan mikroba lain yang pathogen seperti Clostridium, Staphylococcus, Enterobacteriaceae dan mikroba gram negative psikrofil seperti Pseudomonas. Bila titik isoelektris kasein pada 4,6 – 4,8 dicapai akan terjadi penggumpalan dan pengendapan. Pengaruh ini digunakan untuk menggumpalkan produk keju, yogurt, susu asam, dan kasein.
Adapun genus Lactobaccilus diidentifikasi sebagai bakteri yang mempunyai ciri-ciri :
- gram positif
- berbentuk batang
- tidak berspora
- katalase negative
- tidak motil
- tidak mereduksi nitrat
- menggunakan glukosa secara fermentatif
Lactobaccilus memerlukan nutrisi komplek seperti karbohidrat, asam amino, peptide, asam lemak ester asam lemak, garam, turunan asam nukleat, serta vitamin. Metabolisme untuk menghasilkan ATP bersifat fermentative yang memproduksi asam laktat dalam jumlaah besar dan hasil samping yang sedikit sifat pembentukan ATP ini tidak dipengaruhi oleh adanya oksigen (Sudarmadji,1989).
Yogurt dibuat dengan mengasamkan susu menggunakan biakan murni bakteri. Terdapat dua spesies bakteri yang umum dipakai yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus. Bakteri tersebut mengubah laktosa susu menjadi asam laktat yang dengan bersama-sama dengan berbagai hasil lain membentuk flavour yogurt yang khas. Asam juga mengakibatkan koagulasi protein susu dan membantu mengawtkan yogurt. Berhubung yogurt dibuat dari susu, komposisi dan dan nilai gizinya menyerupai susu. Yogurt bebas lemak dibuat dari susu skim. Yogurt buah-buahan umumnya mengandung banyak karbohidrat karena, selain buah-buahn, umumnya mengandung gula tambahan (Gaman, 1992).
Sifat terpenting dari bakteri ini adalah kemapuannya u8ntuk meemfermentasi gula menjadi asam laktat. Karena produksi asam oleh bakteri asam laktat berlangsung secara cepat maka pertumbuhan mikroba lain yang tak diinginkan dapat terhambat (Faridaz, 1992).
Dalam pembuatan yogurt diperlukan bermacam-macam bahan, antara lain susu UHT, susu skim, dan gula pasir. Porter (1975) menyatakan bahwa susu UHT merupakan jenis susu yang sudah disterilisasikan secara kontinu dengan suhu cukup tinggi (276-304 F/ 135-150 0C) dalam waktu minimal 2 sekon. Biasanya susu dihomogenisasi dulu sebelum di perlakukan UHT sterilization. Prosedur UHT didasarkan pada penemuan bahwasanya proses yang makin tinggi suhunya dengan waktu yang makin singkat mampu menghasilkan produk yang bersih dari mikroba patogen tanpa banyak perubahanwarna dan flavour susu. Susu UHT dikemas dalam kontainer-kontainer kertas karton khusus tanpa resiko terkontaminasi mikroba. Umumnya digunakan tetra-pak cartons yaitu l;apisan plastik dan digaris dengan alumunium foil (kertas perak alumunium) yang menjamin susu tersebut terjaga dalam kondisi gelap. Cara UHT ini dapat mngurangi beberapa kandungan susu seperti vitamin C, asam lemak, dan vitamin B12.
Susu skim (skim milk or separated milk) merupakan susu yang seluruh lemaknya telah dihilangkan (kwantitas lemak yang tertinggal hanya sekitar 0,1 %). Susu skim tidak mengandung vitamin A, dan susu ini tidak cocok bagi bayi. Susu ini dikaimjuga dapat untuk pelangsing tubuh karena kandungan energinya yang hanya sekitar separuh dari susu murni (whole milk) dalam volume yang sama (Porter, 1975).
Gula dalam pembuatan yogurt ini berfungsi sebagai pemanis sehingga mampu mengurangi keasaman yogurt. Gula yang sebaiknya dipakai adalah gula alami seperti gula pasir (sukrosa), adapun penggunaan gula sintetis mempunyai pengaruh buruk bagi kesehatan tubuh meskipun harganya jauh lebih murah. Gula pasir termsuk disakarida (karbohidrat) yang biasanya berasal dari bit ataupun tebu. Disakarida ini larut dalam air dan mempunyai rasa manis. Sukrosa merupakan gabungan dua monosakarida, yaitu glukosa dan fruktosa.


Ditulis oleh : Mahmud Hasan
Dari berbagai sumber.

**Berikut sekilas informasi penting seputar Reaktor UASB yang populer digunakan dalam pengolahan limbah cair industri. Anda juga bisa mendapatkan informasi lainnya di www.uasb.org. Selamat membaca!**

--The abstract is available. Please contact me for more information--


---------------------------------------------------------
AKSES TANGGAL 29 JUNI 2005, OLEH al Akh abu Muhammad MAHMUD Hasan TIP’01 UGM
Web Site : http://www.uasb.org/discover/anaerobic_biotechnologies.htm
Author : Jim Field, jimfield@email.arizona.edu
Date Created : April 25th, 2002 Last Updated: April 17th, 2003



Anaerobic Biotechnologies
Anaerobic Wastewater Treatment: Anaerobic wastewater treatment is the biological treatment of wastewater without the use of air or elemental oxygen. Many applications are directed towards the removal of organic pollution in wastewater, slurries and sludges. The organic pollutants are converted by anaerobic microorganisms to a gas containing methane and carbon dioxide, known as "biogas" (see Figure 1 below).
Figure 1. Conversion of Organic Pollutants to Biogas by Anaerobic Microorganisms
COD Balance: In the wastewater engineering field organic pollution is measured by the weight of oxygen it takes to oxidize it chemically. This weight of oxygen is referred to as the "chemical oxygen demand" (COD). COD is basically a measure of organic matter content or concentration. The best way to appreciate anaerobic wastewater treatment is to compare its COD balance with that of aerobic wastewater treatment, as shown in Figure 2 below.
Figure 2. Comparison of the COD balance during anaerobic and aerobic treatment of wastewater containing organic pollution
Anaerobic Treatment: The COD in wastewater is highly converted to methane, which is a valuable fuel. Very little COD is converted to sludge. No major inputs are required to operate the system.
Aerobic Treatment: The COD in wastewater is highly converted sludge, a bulky waste product, which costs lots of money to get rid of. An aerobic wastewater treatment facility is in essence a "waste sludge factory". Elemental oxygen has to be continuously supplied by aerating the wastewater at a great expense in kilowatt hours to operate the aerators.
Spectrum of Applications: Most environmental engineers are aware that anaerobic processes are used to stabilize sludge such as a sludge digester at a municipal treatment plant. Less fully appreciated is the fact that "high rate" anaerobic wastewater treatment technologies can also be utilized to treat dilute to concentrated liquid organic wastewaters (distillery, brewery, paper manufacturing, petrochemical, etc). Even municipal wastewater (sewage) can be treated in tropical countries with "high rate" anaerobic technologies. "High rate" anaerobic treatment is a mature technology. At least 1200 full-scale plants have been documented world-wide for the treatment of industrial effluents (the actual number is estimated at 2500).
"High Rate"Anaerobic Treatment: High rate anaerobic treatment systems refer to bioreactors in which the sludge retention time (time for sludge biomass solids to pass through system) is separated from the hydraulic retention time (time for liquid to pass through system). The net effect is that slow growing anaerobes can be maintained in the reactor at high concentrations, enabling high volumetric conversion rates, while the wastewater rapidly passes through the reactor. The main mechanism of retaining sludge in the reactor is immobilization onto support material (microorganisms sticking to surfaces, eg. filter material in the "anaerobic filter") or self-aggregation into pellets (microorganisms sticking to each other, eg. sludge granules).
Other Applications High rate " anaerobic wastewater treatment is not limited to removal of bulk organic pollution in wastewater. There are a number of established and emerging technologies with various applications such as:
• sulfate reduction for the removal and recovery of heavy metals and sulfur
• denitrification for the removal of nitrates to
• bioremediation for the breakdown of toxic priority pollutants to harmless products
Sulfate Reduction: Sulfate reducing bacteria can be utilized to convert sulfate (SO42-) or sulfite (SO32-) to sulfide (S2-) as shown in Figure 3. The bacteria utilize electron-donating substrates present in wastewater (organic pollution) or added substrates for the reduction of sulfate. The substrates are either partially oxidized (eg. to acetate) or fully oxidized to carbon dioxide. Sulfate behaves as an alternative electron acceptor to support anaerobic respiration. The formation of biogenic sulfide is the first step in biotechnological processes directed at the removal and recovery of sulfur or heavy metals.
Figure 3. Sulfate reduction process, resulting in the formation of biogenic sulfide.
Heavy metal removal and recovery: Biogenic sulfides form highly insoluble precipitates with heavy metals (such as copper or zinc). Thus the sulfides can precipitate soluble heavy metals in wastewater streams or polluted groundwater as shown in Figure 4. The resulting metal sulfides precipitates can be removed. Since the metals ions are highly concentrated in the precipitate, they can be recycled back into industry for reuse.
Figure 4. Precipitation of heavy metals by biogenic sulfides.
Sulfur removal and recovery: Biogenic sulfides can be partially reoxidized under microaerophilic conditions (low oxygen concentrations) by chemotrophic bacteria to form insoluble elemental sulfur (S0) as shown in Figure 5. The elemental sulfur sedimented from the wastewater and can be collected for reuse in industry. A microaerophilic sulfoxidation reactor is typically placed as a post-treatment to a sulfate reducing bioreactor in order to remove and recover sulfur. Sulfoxidation reactors can also be used to clean gas streams which contain hydrogen sulfide (H2S).
Piles of elemental sulfur are shown in Figure 6.
Figure 5. Oxidation of sulfide under microaerophilic conditions by chemotrophic bacteria to elemental sulfur
Figure 6. Elemental sulfur
Denitrification: Denitrification is an anoxic process in which either an organic or inorganic electron-donating substrates are oxidized at the expense of reducing nitrate (NO3-) or nitrite (NO2-) to dinitrogen gas (N2) as shown in Figure 7. Dinitrogen is an inert gas which accounts for 70% of our atmosphere; thus the denitrification process converts nitrate- or nitrite- pollutants into a environmentally benign products. Denitrification processes are becoming popular as a post treatment method in order to remove nitrogen nutrients before treated effluents are discharged into environment. The removal of nitrogen nutrients is important to prevent eutrophication in receiving waters.
Effluents from anaerobic treatment will typically contain nitrogen in the form of ammonium (NH4+). The ammonium must first be oxidized by chemotrophic bacteria to nitrate with oxygen (known as nitrification), prior to applying the denitrification process.
Figure 7. Denitrification process with organic substrates as electron donor, resulting in the formation of inert dinitrogen gas.
Bioremediation. Anaerobic technologies are not only suitable for the removal of bulk COD they can also be utilized for the biodegradation or biotransformation of toxic priority pollutants. Microbial communities in anaerobic environments can either cause the oxidation of the pollutants resulting in its mineralization to benign products (e.g. CO2) or they can cause the reductive biotransformation of pollutants to less toxic substances (e.g. dechlorination of polychlorinated hydrocarbons). Anaerobic bioremediation can take place in bioreactors, such as the case in the treatment of industrial effluents containing toxic pollutants. Or anaerobic bioremediation can take place in situ in groundwater or sediments at contaminated sites (Figure 8).
Figure 8. Example of a hazardous waste contaminated site.
Among the most successful applications of anaerobic treatment for the oxidation of toxic pollutants is the case of the treatment of effluent in the plastic industry containing high concentrations of terephthalate. These effluents are generally high in COD and aerobic treatment would result in excessive sludge production. A complex microbial community of anaerobes is feasible to maintain in bioreactors permitting the total conversion of terephthalate to carbon dioxide and methane in high rate anaerobic bioreactors (Figure 9). Anaerobic technology has now been fully accepted as the main treatment technology for effluents of the polyethylene terephthalate (PET) industry.
Figure 9. Anaerobic biodegradation of terephthalate to carbon dioxide and methane by a complex microbial community
________________________________________
Web Site: http://www.uasb.org/discover/agsb.htm
Author: Jim Field, jimfield@email.arizona.edu
Date Created: September 15th, 2002
Last Updated: April 27th, 2003

anaerobic granular sludge bed reactor technology
What is a UASB? Anaerobic granular sludge bed technology refers to a special kind of reactor concept for the "high rate" anaerobic treatment of wastewater. The concept was initiated with upward-flow anaerobic sludge blanket (UASB) reactor. A scheme of a UASB is shown in Figure 1 below. From a hardware perspective, a UASB reactor is at first appearance nothing more than an empty tank (thus an extremely simple and inexpensive design). Wastewater is distributed into the tank at appropriately spaced inlets. The wastewater passes upwards through an anaerobic sludge bed where the microorganisms in the sludge come into contact with wastewater-substrates. The sludge bed is composed of microorganisms that naturally form granules (pellets) of 0.5 to 2 mm diameter that have a high sedimentation velocity and thus resist wash-out from the system even at high hydraulic loads. The resulting anaerobic degradation process typically is responsible for the production of gas (e.g. biogas containing CH4 and CO2). The upward motion of released gas bubbles causes hydraulic turbulence that provides reactor mixing without any mechanical parts. At the top of the reactor, the water phase is separated from sludge solids and gas in a three-phase separator (also known the gas-liquid-solids separator). The three-phase-separator is commonly a gas cap with a settler situated above it. Below the opening of the gas cap, baffles are used to deflect gas to the gas-cap opening.
Figure 1. The upward-flow anaerobic sludge bed (UASB) reactor concept.
Brief History UASB. The UASB process was developed by Dr. Gatze Lettinga (Figure 2) and colleagues in the late 1970's at the Wageningen University (The Netherlands). Inspired by publications of Dr, Perry McCarty (from Stanford, USA), Lettinga's team was experimenting with an anaerobic filter concept. The anaerobic filter (AF) is a high rate anaerobic reactor in which biomass is immobilized on an inert porous support material. During experiments with the AF, Lettinga had observed that in addition to biomass attached on the support material, a large proportion of the biomass developed into free granular aggregates. The UASB concept crystallized during a trip Gatze Lettinga made to South Africa, where he observed at an anaerobic plant treating wine vinasse, that sludge was developing into compact granules. The reactor design of the plant he was visiting was a "clarigestor", which can be viewed as an ancestor to the UASB. The upper part of the "clarigestor" reactor design has a clarifier but no gas cap.
Birth of UASB. The UASB concept was born out of the recognition that inert support material for biomass attachment was not necessary to retain high levels of active sludge in the reactor. Instead the UASB concept relies on high levels of biomass retention through the formation of sludge granules. When the UASB concept was developed, Lettinga took into account the need to encourage the accumulation of granular sludge and discourage the accumulation of disperse sludge in the reactor. The main features for achieving granular sludge development are firstly to maintain an upward-flow regime in the reactor selecting for microorganisms that aggregate and secondly to provide for adequate separation of solids, liquid and gas, preventing washout of sludge granules.
First UASB. The UASB reactor concept was rapidly developed into technology, the first pilot plant was installed at a beet sugar refinery in The Netherlands (CSM suiker). Thereafter a large number of full-scale plants were installed throughout the Netherlands at sugar refineries, potato starch processing plants, and other food industries as well as recycle paper plants. The first publications on the UASB design concept appeared in Dutch language technical journals in the late 1970's and the first international publication appeared in 1980 (Lettinga et al. 1980).
Figure 2. Photograph of Dr. Gatze Lettinga made for the cover the proceedings of his farewell symposium at the time of his retirement in 2001.
EGSB. An expanded granular sludge bed (EGSB) reactor is a variant of the UASB concept (Kato et al. 1994). The distinguishing feature is that a faster rate of upward-flow velocity is designed for the wastewater passing through the sludge bed. The increased flux permits partial expansion (fluidization) of the granular sludge bed, improving wastewater-sludge contact as well as enhancing segregation of small inactive suspended particle from the sludge bed. The increased flow velocity is either accomplished by utilizing tall reactors, or by incorporating an effluent recycle (or both). A scheme depicting the EGSB design concept is shown in Figure 3. The EGSB design is appropriate for low strength soluble wastewaters (less than 1 to 2 g soluble COD/l) or for wastewaters that contain inert or poorly biodegradable suspended particles which should not be allowed to accumulate in the sludge bed.
Figure 3. The expanded granular sludge bed (EGSB) reactor concept.
________________________________________
Overview Reactor Performance. In a recent survey (Frankin, 2001), 1215 full-scale high rate anaerobic reactors have been carefully documented, which have been built for the treatment of industrial effluents since the 1970's throughout the world. An overwhelming majority (72% of all plants) of the existing full-scale plants are based on the UASB or EGSB design concept developed by Lettinga in The Netherlands. This statistic emphasizes that the anaerobic granular sludge bed design concept has been the most successful for scale-up and implementation. The average full-scale design loading of the UASB of 682 full-scale plants surveyed was 10 kg COD/m3.d. Note: COD stands for chemical oxygen demand and refers to the organic matter in the wastewater expressed as the weight of oxygen to combust it completely. The average full-scale design loading of the EGSB of 198 full-scale plants surveyed was 20 kg COD/m3.d. COD removal efficiencies depend largely on wastewater type; however the removal efficiency with respect to the biodegradable COD is generally in excess of 85 or even 90%. The biodegradable COD is sometimes reflected in the parameter biological oxygen demand (BOD).
The four top applications of high rate anaerobic reactor systems are for:
1. Breweries and beverage industry
2. Distilleries and fermentation industry
3. Food Industry
4. Pulp and paper.
Together, these four industrial sectors account for 87% of the applications. However, the applications of the technology are rapidly expanding, including treatment of chemical and petrochemical industry effluents, textile industry wastewater, landfill leachates as well as applications directed at conversions in the sulfur cycle and removal of metals (see Other Applications). Furthermore in warm climates the UASB concept is also suitable for treatment of domestic wastewater.
Literature cited
Franklin, R. J. 2001. Full scale experience with anaerobic treatment of industrial wastewater. Wat. Sci. Technol. 44(8):1-6.
Kato, M., J. A. Field, P. Versteeg and G. Lettinga. 1994. Feasibility of the expanded granular sludge bed (EGSB) reactors for the anaerobic treatment of low strength soluble wastewaters. Biotechnol. Bioengineer. 44:469-479.
Lettinga, G., A. F. M. van Velsen, S. W. Hobma, W. De Zeeuw, A. Klapwijk 1980. Use of upflow sludge blanket reactor concept for biological waste water treatment, especially for anaerobic treatment. Biotechnol. Bioengineer. 22: 699-734.
________________________________________
WWW.waterandwastewater.com AKSES TANGGAL29 JUNI 2005
Methods for UASB Reactor Design
Guest article by Nguyen Tuan Anh
Introduction
Anaerobic treatment is now becoming a popular treatment method for industrial wastewater, because of its effectiveness in treating high strength wastewater and because of its economic advantages.
Developed in the Netherlands in the late seventies (1976-1980) by Prof. Gatze Lettinga - Wageningen University, UASB (Upflow Anaerobic Sludge Bed) reactor was originally used for treating wastewater from sugar refining, breweries and beverage industry, distilleries and fermentation industry, food industry, pulp and paper industry.
Figure 1. Essential Components of an UASB Reactor (courtesy: http://www.uasb.org/discover/agsb.htm)
In recent times the applications for this technology are expanding to include treatment of chemical and petrochemical industry effluents, textile industry wastewater, landfill leachates, as well as applications directed at conversions in the sulfur cycle and removal of metals. Furthermore, in warm climates the UASB concept is also suitable for treatment of domestic wastewater.
In recent years, the number of anaerobic reactors in the world is increasing rapidly and about 72% consist of reactors based on the UASB and EGSB technologies.
Anaerobic Processes in the UASB Reactor
There are 4 phases of anaerobic digestion in an UASB reactor
• Hydrolysis, where enzymes excreted by fermentative bacteria convert complex, heavy, un-dissolved materials (proteins, carbohydrates, fats) into less complex, lighter, materials (amino acids, sugars, alcohols...).
• Acidogenesis, where dissolved compounds are converted into simple compounds, (volatile fatty-acids, alcohols, lactic acid, CO2, H2, NH3, H2S ) and new cell-matter.
• Acetogenesis, where digestion products are converted into acetate, H2, CO2 and new cell-matter.
• Methanogenesis, where acetate, hydrogen plus carbonate, formate or methanol are converted into CH4, CO2 and new cell-matter.
Specifics of the UASB Reactor
When comparing with other anaerobic reactors, we conclude that the differences as well as the specifics of an UASB are existence of granules sludge and internal three-phase GSL device (gas/sludge/liquid separator system)
Granules sludge: In an UASB reactor, anaerobic sludge has or acquires good sedimentation properties, and is mechanically mixed by the up-flow forces of the incoming wastewater and the gas bubbles being generated in the reactor. For that reason mechanical mixing can be omitted from an UASB reactor thus reducing capital and maintenance costs. This mixing process also encourages the formation of sludge granules.
Figure 2. Shape and size of granules sludge
The sludge granules have many advantages over conventional sludge flocs:
• Dense compact bio-film
• High settle-ability (30-80 m/h)
• High mechanical strength
• Balanced microbial community
• Syntrophic partners closely associated
• High methanogenic activity (0.5 to 2.0 g COD/g VSS.d)
• Resistance to toxic shock
Internal three-phase GSL device: Installed at the top of the tank, the GSL device constitutes an essential part of an UASB reactor with following functions:
• To collect, separate and discharge the biogas formed.
• To reduce liquid turbulences, resulting from the gas production, in the settling compartment.
• To allow sludge particles to separate by sedimentation, flocculation or entrapment in the sludge blanket.
• To limit expansion of the sludge bed in the digester compartment.
• To reduce or prevent the carry-over of sludge particles from the system.
UASB Design
In general, there are two ways to design an UASB reactor
1. If input COD: 5,000 - 15,000 mg/l or more, the design method should be used based on Organic Loading rate, (OLR)
2. If input COD < 5000 mg/l, the design method should be calculated based on velocity. Calculation UASB Tank Base on OLR If input COD: 5,000 - 15,000 mg/l with Organic loading rate ORL: 4 - 12 kg COD/m3.d and Hydraulic retention time HRT: 4 - 12 h COD treatment efficiency: E = (CODinput – CODoutput)/CODinput In Calculation, Percent of COD removal is 75 - 85 % Organic loading rate ORL = Q (CODinput – CODoutput) * 103 Volume of tank W = C * Q / OLR = (kg COD/m3 * m3/h) / (kg COD/m3.h) C: concentration of COD in wastewater Q: flow rate of wastewater H (m) the height of tank can be calculated by: H = HS + HSe The height of sludge layer Hs is: Hs = V * HRT Where Hs: the height of sludge layer area (main reactor) and Hse: the height of sedimentation area Where V = Velocity of flow 0.6 to 0.9 m/h HRT = Hydraulic retention time (h) In general, the height of sludge layer will be chosen in Table 1: In general, the height of sludge layer will be chosen in Table 1: Table 1. Sludge Layer Height Selection COD input Sludge layer height < 3000 mg/l 3 – 5 m > 3000 mg/l 5 – 7 m
Note: Sludge layer is longer than sludge bed layer
The height of setting area HSe ≥ 1.2 m and
The area surface of an UASB tank (m2): A = HRT * Q / H
Figure 3. A typical model of an UASB design
Calculating an UASB Tank Based on Velocity
When input COD < 5,000 mg/l, using the method base on ORL is not effective in operation process because the granular sludge will be hardly formed. Therefore, the design criteria must be: Up-flow velocity V £ 0,5 m/h. • Hydraulic retention time HRT ³ 4 h • Chosen in table 1, the height of sludge is Hs = 3 – 5 m • The height of setting area HSe ³ 1.2 m The volume of the UASB reactor: W = Q x HRT The area of the UASB reactor: A = V / Q GSL Separator Design Slope of the separator bottom from 45 – 60o Free surface in the aperture between the gas collectors: 15 – 20% of reactor area. Height of separator from 1.5 – 2 m The baffles to be installed beneath the gas domes should overlap the edge of the domes over a distance from 10 – 20 cm Construct material: In the anaerobic conditions of an UASB reactor, there is a risk of corrosion in two main situations: • Some H2S gas can pass the GSL separator and accumulate above the water level in the top of the reactor. This will be oxidized to sulphate by oxygen in the air to form Sulphuric Acid that will in turn cause corrosion of both concrete and steel. • Below the water level: Calcium Oxide, (CaO), in concrete can be dissolve with by Carbon Dioxide, (CO2), in the liquid in low pH conditions. To avoid these problems, the material used to construct the UASB reactor should be corrosion resistant, such as stainless steel or plastics, or be provided with proper surface coatings, (e.g. coated concrete rather than coated steel, plastic covered with impregnated hardwood for the settler, plastic fortified plywood, etc). Operation Operation criteria: The optimum pH range is from 6.6 to 7.6 The wastewater temperatures should not be < 5 °C because low temperatures can impede the hydrolysis rate of phase 1 and the activity of methanogenic bacteria. Therefore in winter season, methane gas may be needed to heat the wastewater to be treated in the reactor. Always maintain the ratio of COD : N : P = 350 : 5 : 1 If there is a deficiency of some of these nutrients in the wastewater nutrient addition must be made to sustain the micro-organisms. Chemicals that are frequently used to add nutrients (N, P) are NH4H2PO4, KH2PO4, (NH4)2CO3... Suspended solid (SS) can affect the anaerobic process in many ways: • Formation of scum layers and foaming due to the presence of insoluble components with floating properties, like fats and lipids. • Retarding or even completely obstructing the formation of sludge granules. • Entrapment of granular sludge in a layer of adsorbed insoluble matter and sometimes also falling apart (disintegration) of granular sludge. • A sudden and almost complete wash-out of the sludge present in reactor • Decline of the overall methanogenic activity of the sludge due to accumulation of SS Therefore, the SS concentration in the feed to the reactor should not exceed 500 mg/l In phase 2 and 3 the pH will be reduced and the buffer capacity of wastewater may have to be increased to provide alkalinity of 1000 – 5000 mg/l CaCO3 Start-up: An UASB reactor requires a long time for start-up, e.g. from 2 – 3 weeks in good conditions (t > 20oC) and sometimes the start-up can take up to 3 – 4 months. In start-up process, hydraulic loading must be £ 50% of the design hydraulic loading.
The start-up of the UASB reactor can be considered to be complete once a satisfactory performance of the system has been reached at its design load.________________________________________
Web Site: http://www.uasb.org/discover/granules.htm
Author: Jim Field, jimfield@email.arizona.edu
Date Created: September 20th, 2002
Last Updated: April 17th, 2003
Granulation
What are sludge granules? Sludge granules are at the core of UASB and EGSB technology. A sludge granule is an aggregate of microorganisms forming during wastewater treatment in an environment with a constant upflow hydraulic regime. In the absence of any support matrix, the flow conditions creates a selective environment in which only those microorganisms, capable of attaching to each other, survive and proliferate. Eventually the aggregates form into dense compact biofilms referred to as "granules" (see Figure 1 below). Due to their large particle size (generally ranging from 0.5 to 2 mm in diameter) , the granules resist washout from the reactor, permitting high hydraulic loads. Additionally, the biofilms are compact allowing for high concentrations of active microorganisms and thus high organic space loadings in UASB and EGSB reactors. One gram of granular sludge organic matter (dry weight) can catalyze the conversion of 0.5 to 1 g of COD per day to methane. In layman terms that means on a daily basis granular sludge can process its own body weight of wastewater substrate.
Figure 1. Anaerobic sludge granules from a UASB reactor treating effluent from a recycle paper mill (Roermond, The Netherlands). The background is millimeter paper indicating the size of the granules. Red arrows point to gas vents in the granules, where biogas is released.
Granulation Process: The process of granular sludge formation is one of the most interesting and enigmatic questions when attempting to understand the fundamentals of anaerobic granular sludge technology. This topic has fueled many PhD research projects. There are many theories, ranging from extracellular polysaccharide slime to calcium as key players in the initial aggregation process. However, the most promising theory is the "spaghetti" theory (proposed by Dr. W. Wiegant) in which filamentous microorganisms become entangled in one another analogous to the formation of fungal pellets as shown in Figure 2 below. In support of theory is the fact that the methanogens known as Methanosaete, which are better adapted for low substrate concentrations (a condition desired for wastewater treatment), happen to be filamentous microorganisms. The initial pellets ("spaghetti balls") of Methanosaete can serve as a surface of attachment or support matrix for other microorganisms involved in the anaerobic degradation process. For the attachment of diverse microorganisms to the pellet, perhaps slime layers and calcium may play an important role.
Figure 2. The spaghetti theory of granulation. I) disperse methanogens (filamentous Methanosaeta); II) floccule formation via entanglement; III) pellet formation ("spaghetti balls"); and IV) mature granules, with attachment of other anaerobic microorganisms onto the pellet.
Look Inside a Granule: Each granule is an enormous "metropolis of microbes" containing billions of individual cells and perhaps thousands to millions of different species. Follow the link in Figure 3 below to a slide show which takes you inside a granule to take a closer look at the microorganisms inside.
Figure 3. Take a look inside a granule [look inside slide show].
Settling Properties: According to Stoke's law, sedimentation rates are a function of particles size squared. Due to their large particle sizes, anaerobic sludge granules have exceptional settling properties. The rapid settling velocities permits the application of high hydraulic loads to UASB and EGSB reactors without having to be concerned about wash-out of biologically active sludge particles (responsible for the bioconvresions). Because high hydraulic loads are tolerated, UASB and EGSB systems can handle wastewater streams with relatively low concentrations of substrate, even as low as a few hundred milligrams COD per liter (previously considered impossible for anaerobic treatment). As is illustrated in Figure 4, granular sludge settles extremely rapidly and is completely clarified within a few minutes. By comparison dispersed sludge (like that from an anaerobic digester at a municipal treatment plant) has not even begun to clarify in the same time scale. Flocculent sludge, also clarifies rapidly but not as fast and as granular sludge.
Figure 4. Comparison of the settling properties of granular, flocculent and disperse sludge after 5 minutes of settling time .
Stoke's Law
v = 2r2g(d- Stoke's Law D)/9N
v = velocity of sinking
r = radius sludge particle
g = gravity
d = density of sludge particle
D = density of water
N = viscosity
________________________________________
04:31 mahmud

**Berikut sekilas informasi penting seputar Reaktor UASB yang populer digunakan dalam pengolahan limbah cair industri. Anda juga bisa mendapatkan informasi lainnya di www.uasb.org. Selamat membaca!**

--The abstract is available. Please contact me for more information--


---------------------------------------------------------
AKSES TANGGAL 29 JUNI 2005, OLEH al Akh abu Muhammad MAHMUD Hasan TIP’01 UGM
Web Site : http://www.uasb.org/discover/anaerobic_biotechnologies.htm
Author : Jim Field, jimfield@email.arizona.edu
Date Created : April 25th, 2002 Last Updated: April 17th, 2003



Anaerobic Biotechnologies
Anaerobic Wastewater Treatment: Anaerobic wastewater treatment is the biological treatment of wastewater without the use of air or elemental oxygen. Many applications are directed towards the removal of organic pollution in wastewater, slurries and sludges. The organic pollutants are converted by anaerobic microorganisms to a gas containing methane and carbon dioxide, known as "biogas" (see Figure 1 below).
Figure 1. Conversion of Organic Pollutants to Biogas by Anaerobic Microorganisms
COD Balance: In the wastewater engineering field organic pollution is measured by the weight of oxygen it takes to oxidize it chemically. This weight of oxygen is referred to as the "chemical oxygen demand" (COD). COD is basically a measure of organic matter content or concentration. The best way to appreciate anaerobic wastewater treatment is to compare its COD balance with that of aerobic wastewater treatment, as shown in Figure 2 below.
Figure 2. Comparison of the COD balance during anaerobic and aerobic treatment of wastewater containing organic pollution
Anaerobic Treatment: The COD in wastewater is highly converted to methane, which is a valuable fuel. Very little COD is converted to sludge. No major inputs are required to operate the system.
Aerobic Treatment: The COD in wastewater is highly converted sludge, a bulky waste product, which costs lots of money to get rid of. An aerobic wastewater treatment facility is in essence a "waste sludge factory". Elemental oxygen has to be continuously supplied by aerating the wastewater at a great expense in kilowatt hours to operate the aerators.
Spectrum of Applications: Most environmental engineers are aware that anaerobic processes are used to stabilize sludge such as a sludge digester at a municipal treatment plant. Less fully appreciated is the fact that "high rate" anaerobic wastewater treatment technologies can also be utilized to treat dilute to concentrated liquid organic wastewaters (distillery, brewery, paper manufacturing, petrochemical, etc). Even municipal wastewater (sewage) can be treated in tropical countries with "high rate" anaerobic technologies. "High rate" anaerobic treatment is a mature technology. At least 1200 full-scale plants have been documented world-wide for the treatment of industrial effluents (the actual number is estimated at 2500).
"High Rate"Anaerobic Treatment: High rate anaerobic treatment systems refer to bioreactors in which the sludge retention time (time for sludge biomass solids to pass through system) is separated from the hydraulic retention time (time for liquid to pass through system). The net effect is that slow growing anaerobes can be maintained in the reactor at high concentrations, enabling high volumetric conversion rates, while the wastewater rapidly passes through the reactor. The main mechanism of retaining sludge in the reactor is immobilization onto support material (microorganisms sticking to surfaces, eg. filter material in the "anaerobic filter") or self-aggregation into pellets (microorganisms sticking to each other, eg. sludge granules).
Other Applications High rate " anaerobic wastewater treatment is not limited to removal of bulk organic pollution in wastewater. There are a number of established and emerging technologies with various applications such as:
• sulfate reduction for the removal and recovery of heavy metals and sulfur
• denitrification for the removal of nitrates to
• bioremediation for the breakdown of toxic priority pollutants to harmless products
Sulfate Reduction: Sulfate reducing bacteria can be utilized to convert sulfate (SO42-) or sulfite (SO32-) to sulfide (S2-) as shown in Figure 3. The bacteria utilize electron-donating substrates present in wastewater (organic pollution) or added substrates for the reduction of sulfate. The substrates are either partially oxidized (eg. to acetate) or fully oxidized to carbon dioxide. Sulfate behaves as an alternative electron acceptor to support anaerobic respiration. The formation of biogenic sulfide is the first step in biotechnological processes directed at the removal and recovery of sulfur or heavy metals.
Figure 3. Sulfate reduction process, resulting in the formation of biogenic sulfide.
Heavy metal removal and recovery: Biogenic sulfides form highly insoluble precipitates with heavy metals (such as copper or zinc). Thus the sulfides can precipitate soluble heavy metals in wastewater streams or polluted groundwater as shown in Figure 4. The resulting metal sulfides precipitates can be removed. Since the metals ions are highly concentrated in the precipitate, they can be recycled back into industry for reuse.
Figure 4. Precipitation of heavy metals by biogenic sulfides.
Sulfur removal and recovery: Biogenic sulfides can be partially reoxidized under microaerophilic conditions (low oxygen concentrations) by chemotrophic bacteria to form insoluble elemental sulfur (S0) as shown in Figure 5. The elemental sulfur sedimented from the wastewater and can be collected for reuse in industry. A microaerophilic sulfoxidation reactor is typically placed as a post-treatment to a sulfate reducing bioreactor in order to remove and recover sulfur. Sulfoxidation reactors can also be used to clean gas streams which contain hydrogen sulfide (H2S).
Piles of elemental sulfur are shown in Figure 6.
Figure 5. Oxidation of sulfide under microaerophilic conditions by chemotrophic bacteria to elemental sulfur
Figure 6. Elemental sulfur
Denitrification: Denitrification is an anoxic process in which either an organic or inorganic electron-donating substrates are oxidized at the expense of reducing nitrate (NO3-) or nitrite (NO2-) to dinitrogen gas (N2) as shown in Figure 7. Dinitrogen is an inert gas which accounts for 70% of our atmosphere; thus the denitrification process converts nitrate- or nitrite- pollutants into a environmentally benign products. Denitrification processes are becoming popular as a post treatment method in order to remove nitrogen nutrients before treated effluents are discharged into environment. The removal of nitrogen nutrients is important to prevent eutrophication in receiving waters.
Effluents from anaerobic treatment will typically contain nitrogen in the form of ammonium (NH4+). The ammonium must first be oxidized by chemotrophic bacteria to nitrate with oxygen (known as nitrification), prior to applying the denitrification process.
Figure 7. Denitrification process with organic substrates as electron donor, resulting in the formation of inert dinitrogen gas.
Bioremediation. Anaerobic technologies are not only suitable for the removal of bulk COD they can also be utilized for the biodegradation or biotransformation of toxic priority pollutants. Microbial communities in anaerobic environments can either cause the oxidation of the pollutants resulting in its mineralization to benign products (e.g. CO2) or they can cause the reductive biotransformation of pollutants to less toxic substances (e.g. dechlorination of polychlorinated hydrocarbons). Anaerobic bioremediation can take place in bioreactors, such as the case in the treatment of industrial effluents containing toxic pollutants. Or anaerobic bioremediation can take place in situ in groundwater or sediments at contaminated sites (Figure 8).
Figure 8. Example of a hazardous waste contaminated site.
Among the most successful applications of anaerobic treatment for the oxidation of toxic pollutants is the case of the treatment of effluent in the plastic industry containing high concentrations of terephthalate. These effluents are generally high in COD and aerobic treatment would result in excessive sludge production. A complex microbial community of anaerobes is feasible to maintain in bioreactors permitting the total conversion of terephthalate to carbon dioxide and methane in high rate anaerobic bioreactors (Figure 9). Anaerobic technology has now been fully accepted as the main treatment technology for effluents of the polyethylene terephthalate (PET) industry.
Figure 9. Anaerobic biodegradation of terephthalate to carbon dioxide and methane by a complex microbial community
________________________________________
Web Site: http://www.uasb.org/discover/agsb.htm
Author: Jim Field, jimfield@email.arizona.edu
Date Created: September 15th, 2002
Last Updated: April 27th, 2003

anaerobic granular sludge bed reactor technology
What is a UASB? Anaerobic granular sludge bed technology refers to a special kind of reactor concept for the "high rate" anaerobic treatment of wastewater. The concept was initiated with upward-flow anaerobic sludge blanket (UASB) reactor. A scheme of a UASB is shown in Figure 1 below. From a hardware perspective, a UASB reactor is at first appearance nothing more than an empty tank (thus an extremely simple and inexpensive design). Wastewater is distributed into the tank at appropriately spaced inlets. The wastewater passes upwards through an anaerobic sludge bed where the microorganisms in the sludge come into contact with wastewater-substrates. The sludge bed is composed of microorganisms that naturally form granules (pellets) of 0.5 to 2 mm diameter that have a high sedimentation velocity and thus resist wash-out from the system even at high hydraulic loads. The resulting anaerobic degradation process typically is responsible for the production of gas (e.g. biogas containing CH4 and CO2). The upward motion of released gas bubbles causes hydraulic turbulence that provides reactor mixing without any mechanical parts. At the top of the reactor, the water phase is separated from sludge solids and gas in a three-phase separator (also known the gas-liquid-solids separator). The three-phase-separator is commonly a gas cap with a settler situated above it. Below the opening of the gas cap, baffles are used to deflect gas to the gas-cap opening.
Figure 1. The upward-flow anaerobic sludge bed (UASB) reactor concept.
Brief History UASB. The UASB process was developed by Dr. Gatze Lettinga (Figure 2) and colleagues in the late 1970's at the Wageningen University (The Netherlands). Inspired by publications of Dr, Perry McCarty (from Stanford, USA), Lettinga's team was experimenting with an anaerobic filter concept. The anaerobic filter (AF) is a high rate anaerobic reactor in which biomass is immobilized on an inert porous support material. During experiments with the AF, Lettinga had observed that in addition to biomass attached on the support material, a large proportion of the biomass developed into free granular aggregates. The UASB concept crystallized during a trip Gatze Lettinga made to South Africa, where he observed at an anaerobic plant treating wine vinasse, that sludge was developing into compact granules. The reactor design of the plant he was visiting was a "clarigestor", which can be viewed as an ancestor to the UASB. The upper part of the "clarigestor" reactor design has a clarifier but no gas cap.
Birth of UASB. The UASB concept was born out of the recognition that inert support material for biomass attachment was not necessary to retain high levels of active sludge in the reactor. Instead the UASB concept relies on high levels of biomass retention through the formation of sludge granules. When the UASB concept was developed, Lettinga took into account the need to encourage the accumulation of granular sludge and discourage the accumulation of disperse sludge in the reactor. The main features for achieving granular sludge development are firstly to maintain an upward-flow regime in the reactor selecting for microorganisms that aggregate and secondly to provide for adequate separation of solids, liquid and gas, preventing washout of sludge granules.
First UASB. The UASB reactor concept was rapidly developed into technology, the first pilot plant was installed at a beet sugar refinery in The Netherlands (CSM suiker). Thereafter a large number of full-scale plants were installed throughout the Netherlands at sugar refineries, potato starch processing plants, and other food industries as well as recycle paper plants. The first publications on the UASB design concept appeared in Dutch language technical journals in the late 1970's and the first international publication appeared in 1980 (Lettinga et al. 1980).
Figure 2. Photograph of Dr. Gatze Lettinga made for the cover the proceedings of his farewell symposium at the time of his retirement in 2001.
EGSB. An expanded granular sludge bed (EGSB) reactor is a variant of the UASB concept (Kato et al. 1994). The distinguishing feature is that a faster rate of upward-flow velocity is designed for the wastewater passing through the sludge bed. The increased flux permits partial expansion (fluidization) of the granular sludge bed, improving wastewater-sludge contact as well as enhancing segregation of small inactive suspended particle from the sludge bed. The increased flow velocity is either accomplished by utilizing tall reactors, or by incorporating an effluent recycle (or both). A scheme depicting the EGSB design concept is shown in Figure 3. The EGSB design is appropriate for low strength soluble wastewaters (less than 1 to 2 g soluble COD/l) or for wastewaters that contain inert or poorly biodegradable suspended particles which should not be allowed to accumulate in the sludge bed.
Figure 3. The expanded granular sludge bed (EGSB) reactor concept.
________________________________________
Overview Reactor Performance. In a recent survey (Frankin, 2001), 1215 full-scale high rate anaerobic reactors have been carefully documented, which have been built for the treatment of industrial effluents since the 1970's throughout the world. An overwhelming majority (72% of all plants) of the existing full-scale plants are based on the UASB or EGSB design concept developed by Lettinga in The Netherlands. This statistic emphasizes that the anaerobic granular sludge bed design concept has been the most successful for scale-up and implementation. The average full-scale design loading of the UASB of 682 full-scale plants surveyed was 10 kg COD/m3.d. Note: COD stands for chemical oxygen demand and refers to the organic matter in the wastewater expressed as the weight of oxygen to combust it completely. The average full-scale design loading of the EGSB of 198 full-scale plants surveyed was 20 kg COD/m3.d. COD removal efficiencies depend largely on wastewater type; however the removal efficiency with respect to the biodegradable COD is generally in excess of 85 or even 90%. The biodegradable COD is sometimes reflected in the parameter biological oxygen demand (BOD).
The four top applications of high rate anaerobic reactor systems are for:
1. Breweries and beverage industry
2. Distilleries and fermentation industry
3. Food Industry
4. Pulp and paper.
Together, these four industrial sectors account for 87% of the applications. However, the applications of the technology are rapidly expanding, including treatment of chemical and petrochemical industry effluents, textile industry wastewater, landfill leachates as well as applications directed at conversions in the sulfur cycle and removal of metals (see Other Applications). Furthermore in warm climates the UASB concept is also suitable for treatment of domestic wastewater.
Literature cited
Franklin, R. J. 2001. Full scale experience with anaerobic treatment of industrial wastewater. Wat. Sci. Technol. 44(8):1-6.
Kato, M., J. A. Field, P. Versteeg and G. Lettinga. 1994. Feasibility of the expanded granular sludge bed (EGSB) reactors for the anaerobic treatment of low strength soluble wastewaters. Biotechnol. Bioengineer. 44:469-479.
Lettinga, G., A. F. M. van Velsen, S. W. Hobma, W. De Zeeuw, A. Klapwijk 1980. Use of upflow sludge blanket reactor concept for biological waste water treatment, especially for anaerobic treatment. Biotechnol. Bioengineer. 22: 699-734.
________________________________________
WWW.waterandwastewater.com AKSES TANGGAL29 JUNI 2005
Methods for UASB Reactor Design
Guest article by Nguyen Tuan Anh
Introduction
Anaerobic treatment is now becoming a popular treatment method for industrial wastewater, because of its effectiveness in treating high strength wastewater and because of its economic advantages.
Developed in the Netherlands in the late seventies (1976-1980) by Prof. Gatze Lettinga - Wageningen University, UASB (Upflow Anaerobic Sludge Bed) reactor was originally used for treating wastewater from sugar refining, breweries and beverage industry, distilleries and fermentation industry, food industry, pulp and paper industry.
Figure 1. Essential Components of an UASB Reactor (courtesy: http://www.uasb.org/discover/agsb.htm)
In recent times the applications for this technology are expanding to include treatment of chemical and petrochemical industry effluents, textile industry wastewater, landfill leachates, as well as applications directed at conversions in the sulfur cycle and removal of metals. Furthermore, in warm climates the UASB concept is also suitable for treatment of domestic wastewater.
In recent years, the number of anaerobic reactors in the world is increasing rapidly and about 72% consist of reactors based on the UASB and EGSB technologies.
Anaerobic Processes in the UASB Reactor
There are 4 phases of anaerobic digestion in an UASB reactor
• Hydrolysis, where enzymes excreted by fermentative bacteria convert complex, heavy, un-dissolved materials (proteins, carbohydrates, fats) into less complex, lighter, materials (amino acids, sugars, alcohols...).
• Acidogenesis, where dissolved compounds are converted into simple compounds, (volatile fatty-acids, alcohols, lactic acid, CO2, H2, NH3, H2S ) and new cell-matter.
• Acetogenesis, where digestion products are converted into acetate, H2, CO2 and new cell-matter.
• Methanogenesis, where acetate, hydrogen plus carbonate, formate or methanol are converted into CH4, CO2 and new cell-matter.
Specifics of the UASB Reactor
When comparing with other anaerobic reactors, we conclude that the differences as well as the specifics of an UASB are existence of granules sludge and internal three-phase GSL device (gas/sludge/liquid separator system)
Granules sludge: In an UASB reactor, anaerobic sludge has or acquires good sedimentation properties, and is mechanically mixed by the up-flow forces of the incoming wastewater and the gas bubbles being generated in the reactor. For that reason mechanical mixing can be omitted from an UASB reactor thus reducing capital and maintenance costs. This mixing process also encourages the formation of sludge granules.
Figure 2. Shape and size of granules sludge
The sludge granules have many advantages over conventional sludge flocs:
• Dense compact bio-film
• High settle-ability (30-80 m/h)
• High mechanical strength
• Balanced microbial community
• Syntrophic partners closely associated
• High methanogenic activity (0.5 to 2.0 g COD/g VSS.d)
• Resistance to toxic shock
Internal three-phase GSL device: Installed at the top of the tank, the GSL device constitutes an essential part of an UASB reactor with following functions:
• To collect, separate and discharge the biogas formed.
• To reduce liquid turbulences, resulting from the gas production, in the settling compartment.
• To allow sludge particles to separate by sedimentation, flocculation or entrapment in the sludge blanket.
• To limit expansion of the sludge bed in the digester compartment.
• To reduce or prevent the carry-over of sludge particles from the system.
UASB Design
In general, there are two ways to design an UASB reactor
1. If input COD: 5,000 - 15,000 mg/l or more, the design method should be used based on Organic Loading rate, (OLR)
2. If input COD < 5000 mg/l, the design method should be calculated based on velocity. Calculation UASB Tank Base on OLR If input COD: 5,000 - 15,000 mg/l with Organic loading rate ORL: 4 - 12 kg COD/m3.d and Hydraulic retention time HRT: 4 - 12 h COD treatment efficiency: E = (CODinput – CODoutput)/CODinput In Calculation, Percent of COD removal is 75 - 85 % Organic loading rate ORL = Q (CODinput – CODoutput) * 103 Volume of tank W = C * Q / OLR = (kg COD/m3 * m3/h) / (kg COD/m3.h) C: concentration of COD in wastewater Q: flow rate of wastewater H (m) the height of tank can be calculated by: H = HS + HSe The height of sludge layer Hs is: Hs = V * HRT Where Hs: the height of sludge layer area (main reactor) and Hse: the height of sedimentation area Where V = Velocity of flow 0.6 to 0.9 m/h HRT = Hydraulic retention time (h) In general, the height of sludge layer will be chosen in Table 1: In general, the height of sludge layer will be chosen in Table 1: Table 1. Sludge Layer Height Selection COD input Sludge layer height < 3000 mg/l 3 – 5 m > 3000 mg/l 5 – 7 m
Note: Sludge layer is longer than sludge bed layer
The height of setting area HSe ≥ 1.2 m and
The area surface of an UASB tank (m2): A = HRT * Q / H
Figure 3. A typical model of an UASB design
Calculating an UASB Tank Based on Velocity
When input COD < 5,000 mg/l, using the method base on ORL is not effective in operation process because the granular sludge will be hardly formed. Therefore, the design criteria must be: Up-flow velocity V £ 0,5 m/h. • Hydraulic retention time HRT ³ 4 h • Chosen in table 1, the height of sludge is Hs = 3 – 5 m • The height of setting area HSe ³ 1.2 m The volume of the UASB reactor: W = Q x HRT The area of the UASB reactor: A = V / Q GSL Separator Design Slope of the separator bottom from 45 – 60o Free surface in the aperture between the gas collectors: 15 – 20% of reactor area. Height of separator from 1.5 – 2 m The baffles to be installed beneath the gas domes should overlap the edge of the domes over a distance from 10 – 20 cm Construct material: In the anaerobic conditions of an UASB reactor, there is a risk of corrosion in two main situations: • Some H2S gas can pass the GSL separator and accumulate above the water level in the top of the reactor. This will be oxidized to sulphate by oxygen in the air to form Sulphuric Acid that will in turn cause corrosion of both concrete and steel. • Below the water level: Calcium Oxide, (CaO), in concrete can be dissolve with by Carbon Dioxide, (CO2), in the liquid in low pH conditions. To avoid these problems, the material used to construct the UASB reactor should be corrosion resistant, such as stainless steel or plastics, or be provided with proper surface coatings, (e.g. coated concrete rather than coated steel, plastic covered with impregnated hardwood for the settler, plastic fortified plywood, etc). Operation Operation criteria: The optimum pH range is from 6.6 to 7.6 The wastewater temperatures should not be < 5 °C because low temperatures can impede the hydrolysis rate of phase 1 and the activity of methanogenic bacteria. Therefore in winter season, methane gas may be needed to heat the wastewater to be treated in the reactor. Always maintain the ratio of COD : N : P = 350 : 5 : 1 If there is a deficiency of some of these nutrients in the wastewater nutrient addition must be made to sustain the micro-organisms. Chemicals that are frequently used to add nutrients (N, P) are NH4H2PO4, KH2PO4, (NH4)2CO3... Suspended solid (SS) can affect the anaerobic process in many ways: • Formation of scum layers and foaming due to the presence of insoluble components with floating properties, like fats and lipids. • Retarding or even completely obstructing the formation of sludge granules. • Entrapment of granular sludge in a layer of adsorbed insoluble matter and sometimes also falling apart (disintegration) of granular sludge. • A sudden and almost complete wash-out of the sludge present in reactor • Decline of the overall methanogenic activity of the sludge due to accumulation of SS Therefore, the SS concentration in the feed to the reactor should not exceed 500 mg/l In phase 2 and 3 the pH will be reduced and the buffer capacity of wastewater may have to be increased to provide alkalinity of 1000 – 5000 mg/l CaCO3 Start-up: An UASB reactor requires a long time for start-up, e.g. from 2 – 3 weeks in good conditions (t > 20oC) and sometimes the start-up can take up to 3 – 4 months. In start-up process, hydraulic loading must be £ 50% of the design hydraulic loading.
The start-up of the UASB reactor can be considered to be complete once a satisfactory performance of the system has been reached at its design load.________________________________________
Web Site: http://www.uasb.org/discover/granules.htm
Author: Jim Field, jimfield@email.arizona.edu
Date Created: September 20th, 2002
Last Updated: April 17th, 2003
Granulation
What are sludge granules? Sludge granules are at the core of UASB and EGSB technology. A sludge granule is an aggregate of microorganisms forming during wastewater treatment in an environment with a constant upflow hydraulic regime. In the absence of any support matrix, the flow conditions creates a selective environment in which only those microorganisms, capable of attaching to each other, survive and proliferate. Eventually the aggregates form into dense compact biofilms referred to as "granules" (see Figure 1 below). Due to their large particle size (generally ranging from 0.5 to 2 mm in diameter) , the granules resist washout from the reactor, permitting high hydraulic loads. Additionally, the biofilms are compact allowing for high concentrations of active microorganisms and thus high organic space loadings in UASB and EGSB reactors. One gram of granular sludge organic matter (dry weight) can catalyze the conversion of 0.5 to 1 g of COD per day to methane. In layman terms that means on a daily basis granular sludge can process its own body weight of wastewater substrate.
Figure 1. Anaerobic sludge granules from a UASB reactor treating effluent from a recycle paper mill (Roermond, The Netherlands). The background is millimeter paper indicating the size of the granules. Red arrows point to gas vents in the granules, where biogas is released.
Granulation Process: The process of granular sludge formation is one of the most interesting and enigmatic questions when attempting to understand the fundamentals of anaerobic granular sludge technology. This topic has fueled many PhD research projects. There are many theories, ranging from extracellular polysaccharide slime to calcium as key players in the initial aggregation process. However, the most promising theory is the "spaghetti" theory (proposed by Dr. W. Wiegant) in which filamentous microorganisms become entangled in one another analogous to the formation of fungal pellets as shown in Figure 2 below. In support of theory is the fact that the methanogens known as Methanosaete, which are better adapted for low substrate concentrations (a condition desired for wastewater treatment), happen to be filamentous microorganisms. The initial pellets ("spaghetti balls") of Methanosaete can serve as a surface of attachment or support matrix for other microorganisms involved in the anaerobic degradation process. For the attachment of diverse microorganisms to the pellet, perhaps slime layers and calcium may play an important role.
Figure 2. The spaghetti theory of granulation. I) disperse methanogens (filamentous Methanosaeta); II) floccule formation via entanglement; III) pellet formation ("spaghetti balls"); and IV) mature granules, with attachment of other anaerobic microorganisms onto the pellet.
Look Inside a Granule: Each granule is an enormous "metropolis of microbes" containing billions of individual cells and perhaps thousands to millions of different species. Follow the link in Figure 3 below to a slide show which takes you inside a granule to take a closer look at the microorganisms inside.
Figure 3. Take a look inside a granule [look inside slide show].
Settling Properties: According to Stoke's law, sedimentation rates are a function of particles size squared. Due to their large particle sizes, anaerobic sludge granules have exceptional settling properties. The rapid settling velocities permits the application of high hydraulic loads to UASB and EGSB reactors without having to be concerned about wash-out of biologically active sludge particles (responsible for the bioconvresions). Because high hydraulic loads are tolerated, UASB and EGSB systems can handle wastewater streams with relatively low concentrations of substrate, even as low as a few hundred milligrams COD per liter (previously considered impossible for anaerobic treatment). As is illustrated in Figure 4, granular sludge settles extremely rapidly and is completely clarified within a few minutes. By comparison dispersed sludge (like that from an anaerobic digester at a municipal treatment plant) has not even begun to clarify in the same time scale. Flocculent sludge, also clarifies rapidly but not as fast and as granular sludge.
Figure 4. Comparison of the settling properties of granular, flocculent and disperse sludge after 5 minutes of settling time .
Stoke's Law
v = 2r2g(d- Stoke's Law D)/9N
v = velocity of sinking
r = radius sludge particle
g = gravity
d = density of sludge particle
D = density of water
N = viscosity
________________________________________
**Berikut berbagai referensi seputar biogas yang pernah dikumpulkan selama masa penelitian. Semoga bermanfaat**

(Untuk melihat jurnal seputar biogas, lihat posting sebelumnya. Tersedia versi Indonesia dan English)

------------------------------
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Akses : mei2005 minggu II
RESUME OF BioGAS
Lil Akh Abi Muhammad Mahmud Hasan as Salafy Hafidhohullah wa ghofaro lahu wa li walidaihi ... TIP ’01 UGM Yogyakarta 07438

Anonim, Selasa Paing, 10 Mei 2005. Teknologi Biogas www.balipost.co.id
1. Biogas adalah gas mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Pada umumnya semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas.
2. Jenis bahan organik yang diproses sangat mempengaruhi produktivitas sistem biogas. Di samping itu, faktor-faktor lainnya seperti temperatur digester atau ruangan tertutup kedap udara, pH, tekanan udara serta kelembaban udara turut berpengaruh.
3. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa aktivitas metabolisme dari bakteri methanogenik akan optimal pada nilai rasio C/N sekitar 8-20.
4. Adapun proses pembuatan biogas adalah sebagai berikut. Bahan organik dimasukkan ke dalam digester, sehingga bakteri anaerob akan membusukkan bahan organik tersebut yang selanjutnya akan menghasilkan gas yang disebut biogas. Biogas yang telah terkumpul di dalam digester lalu dialirkan melalui pipa penyalur gas menuju tangki penyimpan gas atau langsung ke lokasi penggunaannya, misalnya kompor.
5. Biogas dapat dipergunakan dengan cara yang sama seperti cara penggunaan gas lainnya yang mudah terbakar. Pembakaran biogas dilakukan dengan mencampurnya dengan oksigen (O2). Meski demikian, untuk mendapatkan hasil pembakaran yang optimal perlu dilakukan proses pemurnian/penyaringan karena biogas mengandung beberapa gas lain yang tidak menguntungkan.
6. Komposisi gas yang terdapat di dalam biogas adalah methana (CH4) sebesar 40-70%, karbondioksida (CO2) sebesar 30-60% serta sedikit hidrogen (H2) dan hidrogen sulfida (H2S). Keuntungan lain yang diperoleh dari proses pembuatan biogas adalah lumpur yang dapat digunakan sebagai pupuk.

Indriyati, Rabu, 18 May 2005. Pengaruh Waktu Tinggal Substrat Terhadap Efisiensi Reaktor Tipe Totally Mix. www.iptek.net.id
1. Limbah cair yang berasal dari agro industri, peternakan atau pabrik pengolahan hasil pertanian, umumnya mengandung konsentrasi bahan organik yang sangat tinggi.
2. Bahan organik tersebut terdiri dari karbohidrat, protein, lemak dan selulosa atau ligno selulosa yang dapat didegradasi secara biologi. Kadangkala limbah cair tersebut mengandung nitrogen, phosphat dan natrium
3. Bahan organik yang terdiri dari polisakarida, protein dan lemak tidak dapat didegradasi oleh bakteri metan secara langsung, karena bakteri tersebut hanya mengkonsumsi asam format, asam asetat, methanol, hidrogen dan karbon dioksida sebagai substrat. Degradasi senyawa organik polimer memerlukan beberapa macam bakteri fakultatif dan bakteri obligat anaerobik.
Tahapan proses degradasi tersebut adalah :
• Hidrolisis molekul organik polimer .
• Fermentasi gula dan asam amino.
• B – oksidasi anaerobik asam lemak rantai panjang dan alkohol.
• Oksidasi anaerobik produk antara seperti asam lemak (kecuali asam asetat).
• Dekarboksilasi asam asetat menjadi metan.
• Oksidasi hidrogen menjadi metan.
4. Kecepatan penguraian biopolimer, tidak hanya tergantung pada jumlah jenis bakteri yang ada dalam reaktor, akan tetapi juga efisiensi dalam mengubah substrat dengan kondisi-kondisi waktu tinggal substrat di dalam reaktor, kecepatan alir efluen, temperatur dan pH yang yang terjadi di dalam bioreaktor.
Bilamana substrat yang mudah larut dominan, reaksi kecepatan terbatas akan cenderung membentuk methan dari asam asetat dan dari asam lemak dengan kondisi stabil atau steady state.Faktor lain yang mempengaruhi proses antara lain waktu tinggal atau lamanya substrat berada dalam suatu reaktor sebelum dikeluarkan sebagai sebagai supernatan atau digested sludge (efluen). Minimum waktu tinggal harus lebih besar dari waktu generasi metan sendiri, agar mikroorganisme didalam reaktor tidak keluar dari reaktor atau yang dikenal dengan istilah wash out.
5. Besar atau kecilnya pencemaran limbah organik diukur oleh Chemical Oxygen Demand (COD), Biological Oxygen Demand (BOD) untuk limbah cair, sedangkan untuk yang berbentuk sludge atau lumpur diukur oleh Total Volatile Solid (TVS).
6. Keuntungan pemilihan proses secara anaerobik adalah proses anaerobik tidak membutuhkan energi untuk aerasi, lumpur atau sludge yang dihasilkan sedikit, polutan yang berupa bahan organik hampir semuanya dikonversi ke bentuk biogas (gas metan) yang mempunyai nilai kalor cukup tinggi.
7. Kelemahan proses degradasi ini adalah ini adalah kemampuan pertumbuhan bakteri metan sangat rendah, membutuhkan waktu dua sampai lima hari untuk penggandaannya, sehingga membutuhkan reaktor yang bervolume cukup besar.

Setiawan,Yuli. 27 Mei 2005. Mengubah Limbah Ternak Jadi Energi.www. iatpi.org
1. Lewat proses fermentasi, limbah yang baunya amat merangsang itu dapat diubah menjadi biogas. Energi biogas ini punya kelebihan yang nyata ketimbang energi nuklir atau batubara. Selain itu, biogas tak memiliki polusi yang tinggi. Dengan begini, sanitasi lingkungan pun makin terjaga.
2. Sejak terjadinya krisis energi pada 1973, masalah energi menjadi topik utama dunia. Negara-negara maju mulai berlomba-lomba mencari terobosan baru dalam menghasilkan energi alternatif yang jauh lebih murah ketimbang minyak dan gas. Mereka pun menerapkan kebijakan diversifikasi energi. Tentunya ketergantungan pada energi tak terbarukan tadi makin berkurang. Ini wajar saja, sebab setiap krisis yang terjadi selalu memberikan efek pada kenaikan harga BBM. Plus ketersediannya yang kurang memadai.
Salah satu energi alternatif tadi, biogas. Energi ini punya masa depan yang cerah. Kita punya banyak bahan baku energi itu.
3. Biogas biasanya dikenal sebagai gas rawa atau lumpur. Gas campuran ini didapat dari proses perombakan kotoran ternak menjadi bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen. Proses ini populer disebut anaerob. Selama proses fermentasi itu berjalan, biogas pun terbentuk. (lihat gambar proses aliran pembentukan Biogas).
4. Dari proses fermentasi ini, akan dihasilkan campuran biogas yang terdiri atas, metana (CH4), karbon dioksida, hidrogen, nitrogen dan gas lain seperti H2S. Metana yang dikandung biogas ini jumlahnya antara 54 – 70%, sedang karbon dioksidanya antara 27 – 43%. Gas-gas lainnya memiliki persentase hanya sedikit saja.
5. Mikroba yang bekerja butuh makanan yang terdiri atas karbohidrat, lemak, protein, fosfor dan unsur-unsur mikro. Lewat siklus biokimia, nutrisi tadi akan diuraikan dan dihasilkan energi untuk tumbuh. Dari proses pencernaan anaerobik ini akan dihasilkan gas metan, Bila unsur-unsur dalam makanan tadi tak berada dalam kondisi yang seimbang alias kurang, bisa dipastikan produksi enzim untuk menguraikan molekul karbon komplek oleh mikroba akan terhambat. Untuk menjamin semuanya berjalan lancar, unsur-unsur nutrisi yang dibutuhkan mikroba harus tersedia secara seimbang, Pertumbuhan mikroba yang optimum biasanya membutuhkan perbandingan unsur C : N : P sebesar 100 : 2,5 : 0,5.
6. Ada beberapa senyawa yang bisa menghambat (proses) penguraian dalam suatu unit biogas saat menyiapkan bahan baku untuk produksi biogas, seperti antiobiotik, desinfektan dan logam berat.
7. Gas metan hasil fermentasi ini akan menyumbang nilai kalor yang dikandung biogas. Besarnya antara 590 – 700 K.cal/m3. Nilai kalor biogas sumber utamanya memang dari gas metan itu. Plus sedikit dari H2 serta CO, sedang karbon dioksida dan gas nitrogen tak berkontribusi apa-apa dalam soal nilai panas tadi. Dalam hal tingkat nilai kalor yang dimiliki biogas punya keunggulan yang signifikan ketimbang sumber energi lainnya, seperti coalgas (586 K.cal/m3) ataupun watergas (302 K.cal/m3). Nilai kalor biogas itu kalah oleh gas alam (967 K.cal/m3). Bahkan, menurut D. Wibowo dalam papernya Gas Bio Sebagai Suatu Sumber Energi Alternatif, setiap kubik biogas setara dengan setengah kilogram gas alam cair (liquid petroleum gases/LPG), setengah liter bensin dan setengah liter minyak diesel. Biogas pun sanggup membangkitkan tenaga listrik sebesar 1,25 – 1,50 kilo watt hour (kwh).

Sriharjo,Sadono. 2001. Sinergi Produksi Bersih Pada Peningkatan Daya Saing Industri. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, Vol.3, No.4 (Juli 2001), hal. 47-52 /HUMAS-BPPT/ANY
1. Tuntutan global atas implementasi aktifitas ekonomi berkelanjutan (Sustainable Economic Activities) telah menjadi isu penting bagi masyarakat internasional dewasa ini. Tuntutan konsumen akan produk hijau (green product) merupakan tantangan masyarakat industri pada era pasar bebas baik GATT, WTO, APEC maupun AFTA. Terlebih dengan implementasi EMS (Environmental Management System) pada serial ISO 14000 yang akan menjadi instrumen kunci bagi semua produk industri manufaktur untuk berakses baik pada pasar domestik maupun internasional di masa mendatang.
2. Bila kita melihat berbagai strategi yang diperlukan dalam pengelolaan lingkungan terutama dalam hal meminimasi maupun menghilangkan limbah maka terlihat ada empat strategi yakni pencegahan, daur ulang, perlakuan serta pembuangan. Pencegahan (prevention strategy), merupakan strategi pengurangan limbah yang terbaik karena telah dilakukan berbagai usaha secara dini untuk mengurangi terbentuknya limbah selama proses produksi berlangsung. Dalam beberapa kasus, strategi ini memerlukan berbagai inovasi proses yang cukup berarti akan tetapi juga mampu memberikan keuntungan ekonomi maupun ekologi yang sangat prospektif. Daur ulang (recycle strategy), strategi ini diimplementasikan bila terbentuknya limbah sudah tidak dapat dihindarkan lagi sehingga salah satu strategi untuk meminimasi terbentuknya limbah adalah dengan melakukan daur ulang maupun pemanfaatan kembali. Dalam beberapa kasus, pemanfaatan limbah ini dapat memberikan nilai komersial karena limbah dapat dijadikan produk yang bernilai ekonomi. Perlakuan (treatment strategy), apabila limbah tidak dapat diminimasi maupun dikurangi dengan strategi daur ulang maupun pemanfaatan kembali maka perlakuan terhadap limbah harus dilakukan dengan mengurangi baik secara kualitas maupun kuantitas daripada limbah yang terbentuk. Namun demikian, implementasi strategi yang berdasarkan pada paradigma akhir pipa (end pipe paradigm) telah berhasil dalam mereduksi kuantitas limbah namun tidak seefektif bila menggunakan paradigma dalam pipa (in pipe paradigm). Pembuangan (disposal strategy), merupakan startegi yang paling tidak efektif karena secara fisik limbah tetap akan menjadi beban lingkungan. Seringkali pembuangan limbah menjadi persoalan yang sangat problematik terutama berkaitan dengan tempat penimbunan akhir limbah yang menjadi isyu internasional. Karena fenomena inilah maka telah dibuat instrumen internasional berupa Konvensi Basel yang mengatur tentang transit limbah antar negara yang telah diratifikasi sekitar 160 negara di dunia

(anonym)
1. Sistim pengubah sampah domestik menjadi energi, yaitu gas methan merupakan salah satu alternatif reduksi sampah yang menghasilkan sumber daya baru. Menurut Ridlo (1998: E-30), waktu tinggal sampah organik sekitar 30 hari di dalam reaktor. Biogas yang dihasilkan oleh reaktor didominasi oleh gas methan  55-60 % dan sisanya CO2. Biogas yang dihasilkan dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti memasak dan penerangan. Selain menghasilkan biogas, reaktor juga menghasilkan produk samping berupa padatan dan cairan yang memiliki kualitas seperti pupuk.

Menuai Biogas dari Limbah. Kamis, 07 April 2005. www.pikiran–rakyat.com
1. segala jenis bahan yang dalam istilah kimia termasuk senyawa organik, entah berasal dari sisa dan kotoran hewan ataupun sisa tanaman, dapat dijadikan bahan biogas.
2. Pembuatan dan penggunaan biogas sebagai energi seperti layaknya energi dari kayu bakar, minyak tanah, gas, dan sebagainya sudah dikenal sejak lama, terutama di kalangan petani Inggris, Rusia dan Amerika Serikat. Sedangkan di Benua Asia, tercatat negara India sejak masih dijajah Inggris sebagai pelopor dan pengguna energi biogas yang sangat luas, bahkan sudah disatukan dengan WC biasa.
3. Di Indonesia, pembuatan dan penggunaan biogas mulai digalakkan pada awal tahun 1970-an, terutama karena bertujuan memanfaatkan buangan atau sisa yang berlimpah dari benda yang tidak bermanfaat menjadi yang bermanfaat, serta mencari sumber energi lain di luar kayu bakar dan minyak tanah.
4. Berdasarkan bahan-bahan untuk membuat biogas, cara dan lingkungan untuk menghasilkannya, sebenarnya biogas dapat dihasilkan di manapun. Pembuatan biogas bisa dalam bentuk yang sederhana (untuk kepentingan rumah-tangga terbatas) ataupun dalam bentuk yang sedang atau besar (untuk kepentingan bersama beberapa rumah atau lebih). Juga menyangkut tempat atau bejana untuk membuatnya. Secara sederhana dari drum bekas yang masih kuat atau sengaja dibuat dalam bentuk bejana dari tembok atau bahan-bahan lainnya.
5. Untuk sekadar memberikan gambaran, berikut ini akan diuraikan beberapa catatan yang berhubungan dengan pembuatan dan penggunaan biogas yang dapat dilakukan di lingkungan pedesaan, baik secara mandiri (perorangan) ataupun bersama-sama dengan tetangga, bahkan dalam bentuk usaha sekalipun.
6. Biogas seperti pula gas lain yang sudah umum digunakan sebagai energi, dapat digunakan untuk banyak kepentingan, terutama untuk kepentingan penerangan dan memasak. Masalahnya sekarang karena lampu atau kompor yang sudah umum dan biasa dipergunakan untuk gas lain selain biogas tidak cocok untuk pemakaian biogas, sebelumnya memerlukan perubahan atau penyesuaian tertentu terlebih dahulu. Hal ini berkaitan karena bentuk dan sifat biogas berbeda dengan bentuk dan sifat gas lain yang sudah umum.
7. Pusat Teknologi Pembangunan (PTP) ITB misalnya, telah sejak lama membuat lampu atau kompor yang dapat menggunakan biogas, yang asalnya dari lampu petromak atau kompor yang sudah ada. Perubahan dan penyesuaian dari lampu petromak atau kompor gas biasa yang dapat menggunakan biogas didasarkan kepada pertimbangan keselamatan dan penggunaan.
8. Seperti misalnya sifat biogas yang tidak berwarna, tidak berbau dan sangat cepat menyala. Karenanya kalau lampu atau kompor mempunyai kebocoran, akan sulit diketahui secepatnya. Berbeda dengan sifat gas lainnya, sepeti gas-kota atau elpiji, maka karena berbau akan cepat dapat diketahui kalau terjadi kebocoran pada alat yang digunakan.
9. Sifat cepat menyala biogas, juga merupakan masalah tersendiri. Artinya dari segi keselamatan pengguna. Sehingga tempat pembuatan atau penampungan biogas harus selalu berada jauh dari sumber api yang kemungkinan dapat menyebabkan ledakan kalau tekanannya besar.
10. Kompor biogas yang telah disusun dan diujicoba PTP ITB tersusun dari rangka, pembakar, spuyer, cincin penjepit spuyer dan cincin pengatur udara, yang kalau sudah diatur akan mempunyai spesifikasi temperatur nyala api dapat mencapai 560°C dengan warna nyala biru muda pada malam hari, dan laju pemakaian biogas 350 liter/jam, serta harganya diperkirakan antara Rp 2.500,00 sampai Rp. 3.000,00 saja (catatan tahun 1978).
Sedang lampu biogas yang juga telah diubah dan diujicoba dari lampu petromak yang terdiri dari tiang pipa dan katup pengatur jarum spuyer, tiang pipa dan nosel spuyer, pipa pencampur gas dan udara, mur penjepit reflektor, ruang pembakar, kaus, semprong (kaca pelindung berbentuk silinder) dan reflektor, ternyata mempunyai harga antara Rp 4.500,00 sampai Rp 6.000,00 saja (tahun 1973). Untuk lebih jelasnya kepada mereka yang membutuhkan keterangan lebih terperinci mengenai kompor dan lampu biogas ini, sebaiknya berhubungan dengan Pusat Teknologi Pembangunan ITB, JIn. Ganesa 10, Bandung. Drum bekas
11. Seperti sudah diuraikan sebelumnya, biogas dapat dibuat dari sisa, buangan ataupun kotoran. Yang penting sisa dan buangan tersebut berbentuk senyawa organik, seperti yang berasal dari tanaman ataupun hewan.
12. Bahan yang dapat digunakan untuk membuat bak, alat atau bejana pembuat dan penampung biogas, juga tidak perlu dari bahan yang mahal atau sukar untuk didapatkannya. Drum bekas asal masih kuat, merupakan bahan yang paling umum dipergunakan.
13. Biogas merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan sangat tinggi dan cepat daya nyalanya. Karenanya sejak biogas berada pada bejana pembuatnya sampai digunakan untuk penerangan ataupun memasak, harus selalu dihindari kehadirannya dari api yang dapat menyebabkan kebakaran atau ledakan. Hal ini berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kebocoran pada peralatan yang tidak diketahui.
14. Membuat biogas bukan semata-mata tergantung kepada bahan yang dipergunakan, kepada alat atau bejana yang digunakan, tetapi juga masih ada faktor-faktor lain yang menyertainya, yang langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil.
15. Misalnya kita sudah memasukkan bahan-bahan yang diperlukan dalam bejana pembuat yang disertai dengan starter yang dibutuhkan. Tetapi ternyata beberapa hari kemudian, bejana penampung hasil tidak naik-naik. Kalau hal ini terjadi ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama bejana penampung hasil bocor, hingga secepatnya harus dicari dan ditambal atau proses pembuatan biogas tidak berjalan.
16. Bahan pembuat biogas merupakan bahan organik berkandungan nitrogen tinggi. Selama proses pembuatan kompos yang akan keluar dan tergunakan adalah unsur-unsur C, H, dan 0 dalam bentuk CH4 dan CO2. Karenanya nitrogen yang ada akan tetap bertahan dalam sisa bahan, kelak menjadi sumber pupuk organik ***

Suprihatin, Agung, dkk. 1996. PPPGT / VEDC. Malang
1. Biogas adalah gas-gas yang dapat digunakan sebagai bahan bakar yang dihasilkan dari proses pembusukan sampah organik secara anaerobik. Bahan bakunya dapat diambil dari kotoran hewan atau bahan sisa-sisa tanaman atau campuran dari keduanya. Secara garis besar, biogas dapat dibuat dengan cara mencampur sampah organik dengan air kemudian dimasukkan ke dalam tempat yang kedap udara. Selanjutnya dibiarkan selama lebih kurang 2 (dua) minggu.
2. Sampah yang dibuat biogas ini mempunyai kelebihan, antara lain:
• Mengurangi jumlah sampah
• Menghemat energi, dan merupakan sumber energi yang tidak merusak lingkungan.
• Nyala api bahan bakar biogas ini terang/bersih, tidak berasap seperti arang kayu atau kayu bakar. Dengan menggunakan biogas, dapur serta makanan akan tetap bersih.
• Residu dari biogas dapat dimanfaatkan untuk pupuk ladang.
3. Sampah Organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau yang lain. Sampah ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah, dan daun.
Sampah Anorganik berasal dari sumber daya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Beberapa dari bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan aluminium. Sebagian zat anorganik secara keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga, misalnya berupa botol, botol plastik, tas plastik, dan kaleng.
Kertas, koran, dan karton merupakan perkecualian. Berdasarkan asalnya, kertas, koran, dan karton termasuk sampah organik. Tetapi karena kertas, koran, dan karton dapat didaur ulang seperti sampah anorganik lain (misalnya gelas, kaleng, dan plastik), maka di buku ini dimasukkan
04:18 mahmud
**Berikut berbagai referensi seputar biogas yang pernah dikumpulkan selama masa penelitian. Semoga bermanfaat**

(Untuk melihat jurnal seputar biogas, lihat posting sebelumnya. Tersedia versi Indonesia dan English)

------------------------------
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Akses : mei2005 minggu II
RESUME OF BioGAS
Lil Akh Abi Muhammad Mahmud Hasan as Salafy Hafidhohullah wa ghofaro lahu wa li walidaihi ... TIP ’01 UGM Yogyakarta 07438

Anonim, Selasa Paing, 10 Mei 2005. Teknologi Biogas www.balipost.co.id
1. Biogas adalah gas mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Pada umumnya semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas.
2. Jenis bahan organik yang diproses sangat mempengaruhi produktivitas sistem biogas. Di samping itu, faktor-faktor lainnya seperti temperatur digester atau ruangan tertutup kedap udara, pH, tekanan udara serta kelembaban udara turut berpengaruh.
3. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa aktivitas metabolisme dari bakteri methanogenik akan optimal pada nilai rasio C/N sekitar 8-20.
4. Adapun proses pembuatan biogas adalah sebagai berikut. Bahan organik dimasukkan ke dalam digester, sehingga bakteri anaerob akan membusukkan bahan organik tersebut yang selanjutnya akan menghasilkan gas yang disebut biogas. Biogas yang telah terkumpul di dalam digester lalu dialirkan melalui pipa penyalur gas menuju tangki penyimpan gas atau langsung ke lokasi penggunaannya, misalnya kompor.
5. Biogas dapat dipergunakan dengan cara yang sama seperti cara penggunaan gas lainnya yang mudah terbakar. Pembakaran biogas dilakukan dengan mencampurnya dengan oksigen (O2). Meski demikian, untuk mendapatkan hasil pembakaran yang optimal perlu dilakukan proses pemurnian/penyaringan karena biogas mengandung beberapa gas lain yang tidak menguntungkan.
6. Komposisi gas yang terdapat di dalam biogas adalah methana (CH4) sebesar 40-70%, karbondioksida (CO2) sebesar 30-60% serta sedikit hidrogen (H2) dan hidrogen sulfida (H2S). Keuntungan lain yang diperoleh dari proses pembuatan biogas adalah lumpur yang dapat digunakan sebagai pupuk.

Indriyati, Rabu, 18 May 2005. Pengaruh Waktu Tinggal Substrat Terhadap Efisiensi Reaktor Tipe Totally Mix. www.iptek.net.id
1. Limbah cair yang berasal dari agro industri, peternakan atau pabrik pengolahan hasil pertanian, umumnya mengandung konsentrasi bahan organik yang sangat tinggi.
2. Bahan organik tersebut terdiri dari karbohidrat, protein, lemak dan selulosa atau ligno selulosa yang dapat didegradasi secara biologi. Kadangkala limbah cair tersebut mengandung nitrogen, phosphat dan natrium
3. Bahan organik yang terdiri dari polisakarida, protein dan lemak tidak dapat didegradasi oleh bakteri metan secara langsung, karena bakteri tersebut hanya mengkonsumsi asam format, asam asetat, methanol, hidrogen dan karbon dioksida sebagai substrat. Degradasi senyawa organik polimer memerlukan beberapa macam bakteri fakultatif dan bakteri obligat anaerobik.
Tahapan proses degradasi tersebut adalah :
• Hidrolisis molekul organik polimer .
• Fermentasi gula dan asam amino.
• B – oksidasi anaerobik asam lemak rantai panjang dan alkohol.
• Oksidasi anaerobik produk antara seperti asam lemak (kecuali asam asetat).
• Dekarboksilasi asam asetat menjadi metan.
• Oksidasi hidrogen menjadi metan.
4. Kecepatan penguraian biopolimer, tidak hanya tergantung pada jumlah jenis bakteri yang ada dalam reaktor, akan tetapi juga efisiensi dalam mengubah substrat dengan kondisi-kondisi waktu tinggal substrat di dalam reaktor, kecepatan alir efluen, temperatur dan pH yang yang terjadi di dalam bioreaktor.
Bilamana substrat yang mudah larut dominan, reaksi kecepatan terbatas akan cenderung membentuk methan dari asam asetat dan dari asam lemak dengan kondisi stabil atau steady state.Faktor lain yang mempengaruhi proses antara lain waktu tinggal atau lamanya substrat berada dalam suatu reaktor sebelum dikeluarkan sebagai sebagai supernatan atau digested sludge (efluen). Minimum waktu tinggal harus lebih besar dari waktu generasi metan sendiri, agar mikroorganisme didalam reaktor tidak keluar dari reaktor atau yang dikenal dengan istilah wash out.
5. Besar atau kecilnya pencemaran limbah organik diukur oleh Chemical Oxygen Demand (COD), Biological Oxygen Demand (BOD) untuk limbah cair, sedangkan untuk yang berbentuk sludge atau lumpur diukur oleh Total Volatile Solid (TVS).
6. Keuntungan pemilihan proses secara anaerobik adalah proses anaerobik tidak membutuhkan energi untuk aerasi, lumpur atau sludge yang dihasilkan sedikit, polutan yang berupa bahan organik hampir semuanya dikonversi ke bentuk biogas (gas metan) yang mempunyai nilai kalor cukup tinggi.
7. Kelemahan proses degradasi ini adalah ini adalah kemampuan pertumbuhan bakteri metan sangat rendah, membutuhkan waktu dua sampai lima hari untuk penggandaannya, sehingga membutuhkan reaktor yang bervolume cukup besar.

Setiawan,Yuli. 27 Mei 2005. Mengubah Limbah Ternak Jadi Energi.www. iatpi.org
1. Lewat proses fermentasi, limbah yang baunya amat merangsang itu dapat diubah menjadi biogas. Energi biogas ini punya kelebihan yang nyata ketimbang energi nuklir atau batubara. Selain itu, biogas tak memiliki polusi yang tinggi. Dengan begini, sanitasi lingkungan pun makin terjaga.
2. Sejak terjadinya krisis energi pada 1973, masalah energi menjadi topik utama dunia. Negara-negara maju mulai berlomba-lomba mencari terobosan baru dalam menghasilkan energi alternatif yang jauh lebih murah ketimbang minyak dan gas. Mereka pun menerapkan kebijakan diversifikasi energi. Tentunya ketergantungan pada energi tak terbarukan tadi makin berkurang. Ini wajar saja, sebab setiap krisis yang terjadi selalu memberikan efek pada kenaikan harga BBM. Plus ketersediannya yang kurang memadai.
Salah satu energi alternatif tadi, biogas. Energi ini punya masa depan yang cerah. Kita punya banyak bahan baku energi itu.
3. Biogas biasanya dikenal sebagai gas rawa atau lumpur. Gas campuran ini didapat dari proses perombakan kotoran ternak menjadi bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen. Proses ini populer disebut anaerob. Selama proses fermentasi itu berjalan, biogas pun terbentuk. (lihat gambar proses aliran pembentukan Biogas).
4. Dari proses fermentasi ini, akan dihasilkan campuran biogas yang terdiri atas, metana (CH4), karbon dioksida, hidrogen, nitrogen dan gas lain seperti H2S. Metana yang dikandung biogas ini jumlahnya antara 54 – 70%, sedang karbon dioksidanya antara 27 – 43%. Gas-gas lainnya memiliki persentase hanya sedikit saja.
5. Mikroba yang bekerja butuh makanan yang terdiri atas karbohidrat, lemak, protein, fosfor dan unsur-unsur mikro. Lewat siklus biokimia, nutrisi tadi akan diuraikan dan dihasilkan energi untuk tumbuh. Dari proses pencernaan anaerobik ini akan dihasilkan gas metan, Bila unsur-unsur dalam makanan tadi tak berada dalam kondisi yang seimbang alias kurang, bisa dipastikan produksi enzim untuk menguraikan molekul karbon komplek oleh mikroba akan terhambat. Untuk menjamin semuanya berjalan lancar, unsur-unsur nutrisi yang dibutuhkan mikroba harus tersedia secara seimbang, Pertumbuhan mikroba yang optimum biasanya membutuhkan perbandingan unsur C : N : P sebesar 100 : 2,5 : 0,5.
6. Ada beberapa senyawa yang bisa menghambat (proses) penguraian dalam suatu unit biogas saat menyiapkan bahan baku untuk produksi biogas, seperti antiobiotik, desinfektan dan logam berat.
7. Gas metan hasil fermentasi ini akan menyumbang nilai kalor yang dikandung biogas. Besarnya antara 590 – 700 K.cal/m3. Nilai kalor biogas sumber utamanya memang dari gas metan itu. Plus sedikit dari H2 serta CO, sedang karbon dioksida dan gas nitrogen tak berkontribusi apa-apa dalam soal nilai panas tadi. Dalam hal tingkat nilai kalor yang dimiliki biogas punya keunggulan yang signifikan ketimbang sumber energi lainnya, seperti coalgas (586 K.cal/m3) ataupun watergas (302 K.cal/m3). Nilai kalor biogas itu kalah oleh gas alam (967 K.cal/m3). Bahkan, menurut D. Wibowo dalam papernya Gas Bio Sebagai Suatu Sumber Energi Alternatif, setiap kubik biogas setara dengan setengah kilogram gas alam cair (liquid petroleum gases/LPG), setengah liter bensin dan setengah liter minyak diesel. Biogas pun sanggup membangkitkan tenaga listrik sebesar 1,25 – 1,50 kilo watt hour (kwh).

Sriharjo,Sadono. 2001. Sinergi Produksi Bersih Pada Peningkatan Daya Saing Industri. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, Vol.3, No.4 (Juli 2001), hal. 47-52 /HUMAS-BPPT/ANY
1. Tuntutan global atas implementasi aktifitas ekonomi berkelanjutan (Sustainable Economic Activities) telah menjadi isu penting bagi masyarakat internasional dewasa ini. Tuntutan konsumen akan produk hijau (green product) merupakan tantangan masyarakat industri pada era pasar bebas baik GATT, WTO, APEC maupun AFTA. Terlebih dengan implementasi EMS (Environmental Management System) pada serial ISO 14000 yang akan menjadi instrumen kunci bagi semua produk industri manufaktur untuk berakses baik pada pasar domestik maupun internasional di masa mendatang.
2. Bila kita melihat berbagai strategi yang diperlukan dalam pengelolaan lingkungan terutama dalam hal meminimasi maupun menghilangkan limbah maka terlihat ada empat strategi yakni pencegahan, daur ulang, perlakuan serta pembuangan. Pencegahan (prevention strategy), merupakan strategi pengurangan limbah yang terbaik karena telah dilakukan berbagai usaha secara dini untuk mengurangi terbentuknya limbah selama proses produksi berlangsung. Dalam beberapa kasus, strategi ini memerlukan berbagai inovasi proses yang cukup berarti akan tetapi juga mampu memberikan keuntungan ekonomi maupun ekologi yang sangat prospektif. Daur ulang (recycle strategy), strategi ini diimplementasikan bila terbentuknya limbah sudah tidak dapat dihindarkan lagi sehingga salah satu strategi untuk meminimasi terbentuknya limbah adalah dengan melakukan daur ulang maupun pemanfaatan kembali. Dalam beberapa kasus, pemanfaatan limbah ini dapat memberikan nilai komersial karena limbah dapat dijadikan produk yang bernilai ekonomi. Perlakuan (treatment strategy), apabila limbah tidak dapat diminimasi maupun dikurangi dengan strategi daur ulang maupun pemanfaatan kembali maka perlakuan terhadap limbah harus dilakukan dengan mengurangi baik secara kualitas maupun kuantitas daripada limbah yang terbentuk. Namun demikian, implementasi strategi yang berdasarkan pada paradigma akhir pipa (end pipe paradigm) telah berhasil dalam mereduksi kuantitas limbah namun tidak seefektif bila menggunakan paradigma dalam pipa (in pipe paradigm). Pembuangan (disposal strategy), merupakan startegi yang paling tidak efektif karena secara fisik limbah tetap akan menjadi beban lingkungan. Seringkali pembuangan limbah menjadi persoalan yang sangat problematik terutama berkaitan dengan tempat penimbunan akhir limbah yang menjadi isyu internasional. Karena fenomena inilah maka telah dibuat instrumen internasional berupa Konvensi Basel yang mengatur tentang transit limbah antar negara yang telah diratifikasi sekitar 160 negara di dunia

(anonym)
1. Sistim pengubah sampah domestik menjadi energi, yaitu gas methan merupakan salah satu alternatif reduksi sampah yang menghasilkan sumber daya baru. Menurut Ridlo (1998: E-30), waktu tinggal sampah organik sekitar 30 hari di dalam reaktor. Biogas yang dihasilkan oleh reaktor didominasi oleh gas methan  55-60 % dan sisanya CO2. Biogas yang dihasilkan dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti memasak dan penerangan. Selain menghasilkan biogas, reaktor juga menghasilkan produk samping berupa padatan dan cairan yang memiliki kualitas seperti pupuk.

Menuai Biogas dari Limbah. Kamis, 07 April 2005. www.pikiran–rakyat.com
1. segala jenis bahan yang dalam istilah kimia termasuk senyawa organik, entah berasal dari sisa dan kotoran hewan ataupun sisa tanaman, dapat dijadikan bahan biogas.
2. Pembuatan dan penggunaan biogas sebagai energi seperti layaknya energi dari kayu bakar, minyak tanah, gas, dan sebagainya sudah dikenal sejak lama, terutama di kalangan petani Inggris, Rusia dan Amerika Serikat. Sedangkan di Benua Asia, tercatat negara India sejak masih dijajah Inggris sebagai pelopor dan pengguna energi biogas yang sangat luas, bahkan sudah disatukan dengan WC biasa.
3. Di Indonesia, pembuatan dan penggunaan biogas mulai digalakkan pada awal tahun 1970-an, terutama karena bertujuan memanfaatkan buangan atau sisa yang berlimpah dari benda yang tidak bermanfaat menjadi yang bermanfaat, serta mencari sumber energi lain di luar kayu bakar dan minyak tanah.
4. Berdasarkan bahan-bahan untuk membuat biogas, cara dan lingkungan untuk menghasilkannya, sebenarnya biogas dapat dihasilkan di manapun. Pembuatan biogas bisa dalam bentuk yang sederhana (untuk kepentingan rumah-tangga terbatas) ataupun dalam bentuk yang sedang atau besar (untuk kepentingan bersama beberapa rumah atau lebih). Juga menyangkut tempat atau bejana untuk membuatnya. Secara sederhana dari drum bekas yang masih kuat atau sengaja dibuat dalam bentuk bejana dari tembok atau bahan-bahan lainnya.
5. Untuk sekadar memberikan gambaran, berikut ini akan diuraikan beberapa catatan yang berhubungan dengan pembuatan dan penggunaan biogas yang dapat dilakukan di lingkungan pedesaan, baik secara mandiri (perorangan) ataupun bersama-sama dengan tetangga, bahkan dalam bentuk usaha sekalipun.
6. Biogas seperti pula gas lain yang sudah umum digunakan sebagai energi, dapat digunakan untuk banyak kepentingan, terutama untuk kepentingan penerangan dan memasak. Masalahnya sekarang karena lampu atau kompor yang sudah umum dan biasa dipergunakan untuk gas lain selain biogas tidak cocok untuk pemakaian biogas, sebelumnya memerlukan perubahan atau penyesuaian tertentu terlebih dahulu. Hal ini berkaitan karena bentuk dan sifat biogas berbeda dengan bentuk dan sifat gas lain yang sudah umum.
7. Pusat Teknologi Pembangunan (PTP) ITB misalnya, telah sejak lama membuat lampu atau kompor yang dapat menggunakan biogas, yang asalnya dari lampu petromak atau kompor yang sudah ada. Perubahan dan penyesuaian dari lampu petromak atau kompor gas biasa yang dapat menggunakan biogas didasarkan kepada pertimbangan keselamatan dan penggunaan.
8. Seperti misalnya sifat biogas yang tidak berwarna, tidak berbau dan sangat cepat menyala. Karenanya kalau lampu atau kompor mempunyai kebocoran, akan sulit diketahui secepatnya. Berbeda dengan sifat gas lainnya, sepeti gas-kota atau elpiji, maka karena berbau akan cepat dapat diketahui kalau terjadi kebocoran pada alat yang digunakan.
9. Sifat cepat menyala biogas, juga merupakan masalah tersendiri. Artinya dari segi keselamatan pengguna. Sehingga tempat pembuatan atau penampungan biogas harus selalu berada jauh dari sumber api yang kemungkinan dapat menyebabkan ledakan kalau tekanannya besar.
10. Kompor biogas yang telah disusun dan diujicoba PTP ITB tersusun dari rangka, pembakar, spuyer, cincin penjepit spuyer dan cincin pengatur udara, yang kalau sudah diatur akan mempunyai spesifikasi temperatur nyala api dapat mencapai 560°C dengan warna nyala biru muda pada malam hari, dan laju pemakaian biogas 350 liter/jam, serta harganya diperkirakan antara Rp 2.500,00 sampai Rp. 3.000,00 saja (catatan tahun 1978).
Sedang lampu biogas yang juga telah diubah dan diujicoba dari lampu petromak yang terdiri dari tiang pipa dan katup pengatur jarum spuyer, tiang pipa dan nosel spuyer, pipa pencampur gas dan udara, mur penjepit reflektor, ruang pembakar, kaus, semprong (kaca pelindung berbentuk silinder) dan reflektor, ternyata mempunyai harga antara Rp 4.500,00 sampai Rp 6.000,00 saja (tahun 1973). Untuk lebih jelasnya kepada mereka yang membutuhkan keterangan lebih terperinci mengenai kompor dan lampu biogas ini, sebaiknya berhubungan dengan Pusat Teknologi Pembangunan ITB, JIn. Ganesa 10, Bandung. Drum bekas
11. Seperti sudah diuraikan sebelumnya, biogas dapat dibuat dari sisa, buangan ataupun kotoran. Yang penting sisa dan buangan tersebut berbentuk senyawa organik, seperti yang berasal dari tanaman ataupun hewan.
12. Bahan yang dapat digunakan untuk membuat bak, alat atau bejana pembuat dan penampung biogas, juga tidak perlu dari bahan yang mahal atau sukar untuk didapatkannya. Drum bekas asal masih kuat, merupakan bahan yang paling umum dipergunakan.
13. Biogas merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan sangat tinggi dan cepat daya nyalanya. Karenanya sejak biogas berada pada bejana pembuatnya sampai digunakan untuk penerangan ataupun memasak, harus selalu dihindari kehadirannya dari api yang dapat menyebabkan kebakaran atau ledakan. Hal ini berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kebocoran pada peralatan yang tidak diketahui.
14. Membuat biogas bukan semata-mata tergantung kepada bahan yang dipergunakan, kepada alat atau bejana yang digunakan, tetapi juga masih ada faktor-faktor lain yang menyertainya, yang langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil.
15. Misalnya kita sudah memasukkan bahan-bahan yang diperlukan dalam bejana pembuat yang disertai dengan starter yang dibutuhkan. Tetapi ternyata beberapa hari kemudian, bejana penampung hasil tidak naik-naik. Kalau hal ini terjadi ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama bejana penampung hasil bocor, hingga secepatnya harus dicari dan ditambal atau proses pembuatan biogas tidak berjalan.
16. Bahan pembuat biogas merupakan bahan organik berkandungan nitrogen tinggi. Selama proses pembuatan kompos yang akan keluar dan tergunakan adalah unsur-unsur C, H, dan 0 dalam bentuk CH4 dan CO2. Karenanya nitrogen yang ada akan tetap bertahan dalam sisa bahan, kelak menjadi sumber pupuk organik ***

Suprihatin, Agung, dkk. 1996. PPPGT / VEDC. Malang
1. Biogas adalah gas-gas yang dapat digunakan sebagai bahan bakar yang dihasilkan dari proses pembusukan sampah organik secara anaerobik. Bahan bakunya dapat diambil dari kotoran hewan atau bahan sisa-sisa tanaman atau campuran dari keduanya. Secara garis besar, biogas dapat dibuat dengan cara mencampur sampah organik dengan air kemudian dimasukkan ke dalam tempat yang kedap udara. Selanjutnya dibiarkan selama lebih kurang 2 (dua) minggu.
2. Sampah yang dibuat biogas ini mempunyai kelebihan, antara lain:
• Mengurangi jumlah sampah
• Menghemat energi, dan merupakan sumber energi yang tidak merusak lingkungan.
• Nyala api bahan bakar biogas ini terang/bersih, tidak berasap seperti arang kayu atau kayu bakar. Dengan menggunakan biogas, dapur serta makanan akan tetap bersih.
• Residu dari biogas dapat dimanfaatkan untuk pupuk ladang.
3. Sampah Organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau yang lain. Sampah ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah, dan daun.
Sampah Anorganik berasal dari sumber daya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Beberapa dari bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan aluminium. Sebagian zat anorganik secara keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga, misalnya berupa botol, botol plastik, tas plastik, dan kaleng.
Kertas, koran, dan karton merupakan perkecualian. Berdasarkan asalnya, kertas, koran, dan karton termasuk sampah organik. Tetapi karena kertas, koran, dan karton dapat didaur ulang seperti sampah anorganik lain (misalnya gelas, kaleng, dan plastik), maka di buku ini dimasukkan
-sekelumit ilmu terengguk semasa di charoen pokphand group (lanjutan)-

Any figures, tables and sheets are deleted. For more information contact me mahmudzone@gmail.com

COMMON FOOD HANDLING PRACTICES THAT CAUSE FOOD
POISONING


1. Inadequate cooking
2. Prolong storage of food between 4°C and 63°C
3. Improper cooling
4. Inadequate reheating
5. Inadequate thawing of food before cooking
6. Preparation of food too far in advance and storage of food at ambient
temperature
7. Use of unsafe food source
8. Use of leftovers
9. Cross-contamination
10. Infected person
21
Appendix 2
LIST OF HAZARDS
A hazard is anything that may cause harm to the consumer. Hazards may be biological,
chemical or physical:
Biological
• Listeria
• Salmonella
• Campylobacter
• E.coli O157:H7
• Norwalk virus
Chemical
• Pesticides
• toxin (fish)
• mycotoxins
• allergens
Physical
• Glass
• Metal
• Stones



For more information, please contact the
Communication Resource Unit, Food and Environmental Hygiene Department at
8/F., Fa Yuen Street Complex,
123A Fa Yuen Street, Mongkok, Kowloon.
or
dial Tel.: 2787 1229
Food and Environmental Hygiene Department Enquiries Hotline : 2868 0000
Compiled by Risk Communication Section, Food and Environmental Hygiene Department
6/


Compiled by Risk Communication Section, Food and Environmental Hygiene Department
6/2000
04:15 mahmud
-sekelumit ilmu terengguk semasa di charoen pokphand group (lanjutan)-

Any figures, tables and sheets are deleted. For more information contact me mahmudzone@gmail.com

COMMON FOOD HANDLING PRACTICES THAT CAUSE FOOD
POISONING


1. Inadequate cooking
2. Prolong storage of food between 4°C and 63°C
3. Improper cooling
4. Inadequate reheating
5. Inadequate thawing of food before cooking
6. Preparation of food too far in advance and storage of food at ambient
temperature
7. Use of unsafe food source
8. Use of leftovers
9. Cross-contamination
10. Infected person
21
Appendix 2
LIST OF HAZARDS
A hazard is anything that may cause harm to the consumer. Hazards may be biological,
chemical or physical:
Biological
• Listeria
• Salmonella
• Campylobacter
• E.coli O157:H7
• Norwalk virus
Chemical
• Pesticides
• toxin (fish)
• mycotoxins
• allergens
Physical
• Glass
• Metal
• Stones



For more information, please contact the
Communication Resource Unit, Food and Environmental Hygiene Department at
8/F., Fa Yuen Street Complex,
123A Fa Yuen Street, Mongkok, Kowloon.
or
dial Tel.: 2787 1229
Food and Environmental Hygiene Department Enquiries Hotline : 2868 0000
Compiled by Risk Communication Section, Food and Environmental Hygiene Department
6/


Compiled by Risk Communication Section, Food and Environmental Hygiene Department
6/2000
-sekelumit ilmu terengguk semasa di charoen pokphand group-

I. Introduction
The consumption of contaminated foods causes many cases of foodborne illness each
year. Most foodborne illness is caused by foods handled, prepared or stored improperly
by food handlers in the food industry (Appendix 1). In order to control food safety
problems and prevent food poisoning, all food businesses including food service
organizations should prepare their own Food Safety Plan (FSP) based on the principles
of Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) system.
Basically, HACCP system is just the systematic application of good practice to the
prevention of food safety problems and hence production of safe food. Prevention has
two key elements: (1) anticipation of the problems and (2) design of the right preventive
solutions. Prevention is active, not passive, in its approach.
HACCP system has been adopted worldwide by many food manufacturing companies;
however, a “classic” HACCP system is generally not considered feasible in the food
service organizations due to multiplicity of food products, lack of standardised methods,
lack of systematic production planning as well as lack of expertise to develop the
HACCP system. This document contains a simplified model based on the principles of
HACCP in order to assist managers of food service organizations to implement a
HACCP-based food safety plan.
2
II. What is a Food Safety Plan?
A FSP is a plan designed to identify and control hazards in order to establish and
maintain food safety. The hazards may relate to the purchase, storage, preparation,
packaging, transport or sale of food.
The following section outlines the stages involved in developing a FSP. It lists the
catering steps as well as the potential hazards typical in most food service organizations,
outlines the controls which apply generally to most catering operations and advises on
when and how these should be applied. It also gives advice on the identification and
monitoring of other control points.
III. How to develop your Food Safety Plan?
The following section explains to you step by step how to develop your own FSP. It
provides you with a set of sheets that enable you to develop, document and monitor your
FSP.

(Figures are deleted, for more information, contact me mahmudzone@gmail.com)

IV Other basic requirements for a Food Safety Plan
A FSP should also include some basic activities which address hazard control more
broadly. Listed below are the examples of these components.
A. Cleaning and sanitation
Effective cleaning and sanitising remove food residues and dirt and hence minimize the
risk of food contamination and food poisoning. A cleaning programme should be
developed to ensure that cleaning is conducted in a systematic and regular manner. A
well-planned cleaning programme should include the following:
(a) areas and equipment to be cleaned
(b) frequency of cleaning required for each item
(c) the specific standard procedure
(d) equipment and methods to be used
(e) chemicals or systems to be used
(f) the staff responsible for each task

B. Personal hygiene
Good personal hygiene is essential to ensure food safety. Disease-causing bacteria may be
present on the skin and in the nose of healthy people. All food handlers must therefore
maintain a high standard of personal hygiene and cleanliness in order to avoid transferring
food poisoning bacteria to foods.

The following points need to be considered by all food
handlers.
• Uniforms, aprons (or clothes) should be clean at the beginning of a work shift
• Wear a hair restraint (hat or hairnet)
• Keep fingernails short and clean
• Avoid touching nose, mouth, hair and skin during food preparation
• Do not smoke in food premises
• Do not cough or sneeze directly onto food. Wash hands after coughing or sneezing
• Avoid using handkerchiefs, use disposable tissues
• Wash your hands after blowing your nose
• Avoid wearing jewellery while handling and preparing food
• Avoid using strong perfumes/after shaves
• Do not wear uniforms / aprons outside the food preparation area
• Cover all wounds or cuts on hands or arms completely with bright-coloured waterproof
wound strip
• Wear disposable gloves if there is a wound on the hand. Change both gloves and wound
strip regularly
• Food handlers to be free from any illnesses such as gastro or the flu
• Cease work and report to the manager while ill
Hands must be washed before:
• Working
• Handling food and utensils
Hands must be washed after:
• Using the toilet
• Handling raw food
• Coughing, sneezing, eating, drinking or smoking
• Licking fingers
• Every break
• Touching pimples or sores
• Handling waste
• Carrying out cleaning duties
• Changing soiled clothes
• Touching ears, nose, hair, mouth, or other bare body parts
• Handling animals
• Any other unhygienic practice
Handwashing technique:
• Moisten hands with water
• Apply soap or detergent, work up a lather beyond the wrist
• Rub hands together for at least 20 seconds (use a nail brush when necessary)
• Rinse off soap or detergent
• Dry hands with paper towel or hot air dryer – do not wipe hands with uniform or cloths
18
C. Pest Control
Pest may contaminate food and cause foodborne illness. A pest control programme should be
developed to eliminate pests and prevent pests from infesting your food premises. An
effective pest control programme should be able to prevent access, deny harbourage and
eradicate any pests present.
Exclusion and restriction (preventing access and denying harbourage)
• Seal all gaps around fittings or in walls or floors
• Keep the doors to the outside closed at all times
• Fit windows open directly into food preparation areas with screens (with apertures of
2mm square or less) to keep insects out
• Cover ventilation ducts and floor drains
• Store and remove garbage properly and regularly. Keep garbage covered.
• Inspect frequently (e.g. weekly) for sign of pests – both outside and inside
• Check incoming foods and supplies for sign of pests
• Store food and supplies properly:
− Cover them properly
− Store them at least 15cm/6 inches off the floor and 15cm/6 inches away from
walls
− Store at low humidity (50 percent or less)
− Apply First-in-first-out system
• Remove cartons, newspaper, etc. that may attract and harbour pests
• Clean up spillages of food immediately
• Keep toilets cleaned and sanitized
• Keep garbage in sealed plastic bags and inside tightly covered refuse bins
Destruction
• Use chemical, physical or biological means, e.g. rodent traps, where there are sign of
pests
• Use a zapper or insecticutor to capture and kill flying insects. Ensure zappers are not
above or within 3 metres of a food preparation or storage area. Avoid spraying
insecticide over food preparation surfaces.
• Hire a professional pest control company
• An example of a pest control monitoring record sheet is provided in Appendix 12
19
D. Waste Disposal
Waste can be regarded as any item of food, ingredients, packaging materials, etc. which are
not suitable for further use and are intended to be disposed of. Waste should be controlled
carefully since it presents a risk of contamination of foods.
• Waste disposal bins are to be placed around the working area of food preparation
rooms and positioned conveniently to staff and operations
• Waste disposal bins are clearly distinguishable from other storage bins
• Waste disposal bins in food preparation rooms need not be covered if they are in
frequent use and are regularly emptied
• A defined area is to be allocated for the storage of waste pending disposal
• When food waste is removed from food preparation rooms pending disposal, it must
be placed in a tightly covered waste storage bin
• Plastic liners are to be used in waste disposal and storage bins
• Waste disposal and storage bins are to be emptied when full or on a regular basis
• Waste disposal bins are to be cleaned and sanitised daily and placed upside down and
off the floor to drain overnight
E. Training
Training offers food handlers a better understanding of how food can become contaminated,
and how foodborne illness can be avoided through proper food handling procedures.
• It is good practice for a business to have a training plan to identify the training
needed for each member of staff
• It is also good practice to keep records of the training completed by every member
of staff
• Training needs should be reviewed on a regular basis and should be judged against
the role and responsibilities, the existing skills, experience and previous training of
the staff
• An example of staff training record is provided in Appendix 13
F. Customer Complaint
Customer complaint helps to reflect problem of the food production process. Complaints
should be handled carefully. Appropriate amendment on the FSP can be made if necessary.
• Establish complaint procedures
• Document all complaints from customers
• Record details including the date, customers details, reasons and response for
complaint and corrective actions
• An example of a customer complaint record sheet is provided in the Appendix 14
03:55 mahmud
-sekelumit ilmu terengguk semasa di charoen pokphand group-

I. Introduction
The consumption of contaminated foods causes many cases of foodborne illness each
year. Most foodborne illness is caused by foods handled, prepared or stored improperly
by food handlers in the food industry (Appendix 1). In order to control food safety
problems and prevent food poisoning, all food businesses including food service
organizations should prepare their own Food Safety Plan (FSP) based on the principles
of Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) system.
Basically, HACCP system is just the systematic application of good practice to the
prevention of food safety problems and hence production of safe food. Prevention has
two key elements: (1) anticipation of the problems and (2) design of the right preventive
solutions. Prevention is active, not passive, in its approach.
HACCP system has been adopted worldwide by many food manufacturing companies;
however, a “classic” HACCP system is generally not considered feasible in the food
service organizations due to multiplicity of food products, lack of standardised methods,
lack of systematic production planning as well as lack of expertise to develop the
HACCP system. This document contains a simplified model based on the principles of
HACCP in order to assist managers of food service organizations to implement a
HACCP-based food safety plan.
2
II. What is a Food Safety Plan?
A FSP is a plan designed to identify and control hazards in order to establish and
maintain food safety. The hazards may relate to the purchase, storage, preparation,
packaging, transport or sale of food.
The following section outlines the stages involved in developing a FSP. It lists the
catering steps as well as the potential hazards typical in most food service organizations,
outlines the controls which apply generally to most catering operations and advises on
when and how these should be applied. It also gives advice on the identification and
monitoring of other control points.
III. How to develop your Food Safety Plan?
The following section explains to you step by step how to develop your own FSP. It
provides you with a set of sheets that enable you to develop, document and monitor your
FSP.

(Figures are deleted, for more information, contact me mahmudzone@gmail.com)

IV Other basic requirements for a Food Safety Plan
A FSP should also include some basic activities which address hazard control more
broadly. Listed below are the examples of these components.
A. Cleaning and sanitation
Effective cleaning and sanitising remove food residues and dirt and hence minimize the
risk of food contamination and food poisoning. A cleaning programme should be
developed to ensure that cleaning is conducted in a systematic and regular manner. A
well-planned cleaning programme should include the following:
(a) areas and equipment to be cleaned
(b) frequency of cleaning required for each item
(c) the specific standard procedure
(d) equipment and methods to be used
(e) chemicals or systems to be used
(f) the staff responsible for each task

B. Personal hygiene
Good personal hygiene is essential to ensure food safety. Disease-causing bacteria may be
present on the skin and in the nose of healthy people. All food handlers must therefore
maintain a high standard of personal hygiene and cleanliness in order to avoid transferring
food poisoning bacteria to foods.

The following points need to be considered by all food
handlers.
• Uniforms, aprons (or clothes) should be clean at the beginning of a work shift
• Wear a hair restraint (hat or hairnet)
• Keep fingernails short and clean
• Avoid touching nose, mouth, hair and skin during food preparation
• Do not smoke in food premises
• Do not cough or sneeze directly onto food. Wash hands after coughing or sneezing
• Avoid using handkerchiefs, use disposable tissues
• Wash your hands after blowing your nose
• Avoid wearing jewellery while handling and preparing food
• Avoid using strong perfumes/after shaves
• Do not wear uniforms / aprons outside the food preparation area
• Cover all wounds or cuts on hands or arms completely with bright-coloured waterproof
wound strip
• Wear disposable gloves if there is a wound on the hand. Change both gloves and wound
strip regularly
• Food handlers to be free from any illnesses such as gastro or the flu
• Cease work and report to the manager while ill
Hands must be washed before:
• Working
• Handling food and utensils
Hands must be washed after:
• Using the toilet
• Handling raw food
• Coughing, sneezing, eating, drinking or smoking
• Licking fingers
• Every break
• Touching pimples or sores
• Handling waste
• Carrying out cleaning duties
• Changing soiled clothes
• Touching ears, nose, hair, mouth, or other bare body parts
• Handling animals
• Any other unhygienic practice
Handwashing technique:
• Moisten hands with water
• Apply soap or detergent, work up a lather beyond the wrist
• Rub hands together for at least 20 seconds (use a nail brush when necessary)
• Rinse off soap or detergent
• Dry hands with paper towel or hot air dryer – do not wipe hands with uniform or cloths
18
C. Pest Control
Pest may contaminate food and cause foodborne illness. A pest control programme should be
developed to eliminate pests and prevent pests from infesting your food premises. An
effective pest control programme should be able to prevent access, deny harbourage and
eradicate any pests present.
Exclusion and restriction (preventing access and denying harbourage)
• Seal all gaps around fittings or in walls or floors
• Keep the doors to the outside closed at all times
• Fit windows open directly into food preparation areas with screens (with apertures of
2mm square or less) to keep insects out
• Cover ventilation ducts and floor drains
• Store and remove garbage properly and regularly. Keep garbage covered.
• Inspect frequently (e.g. weekly) for sign of pests – both outside and inside
• Check incoming foods and supplies for sign of pests
• Store food and supplies properly:
− Cover them properly
− Store them at least 15cm/6 inches off the floor and 15cm/6 inches away from
walls
− Store at low humidity (50 percent or less)
− Apply First-in-first-out system
• Remove cartons, newspaper, etc. that may attract and harbour pests
• Clean up spillages of food immediately
• Keep toilets cleaned and sanitized
• Keep garbage in sealed plastic bags and inside tightly covered refuse bins
Destruction
• Use chemical, physical or biological means, e.g. rodent traps, where there are sign of
pests
• Use a zapper or insecticutor to capture and kill flying insects. Ensure zappers are not
above or within 3 metres of a food preparation or storage area. Avoid spraying
insecticide over food preparation surfaces.
• Hire a professional pest control company
• An example of a pest control monitoring record sheet is provided in Appendix 12
19
D. Waste Disposal
Waste can be regarded as any item of food, ingredients, packaging materials, etc. which are
not suitable for further use and are intended to be disposed of. Waste should be controlled
carefully since it presents a risk of contamination of foods.
• Waste disposal bins are to be placed around the working area of food preparation
rooms and positioned conveniently to staff and operations
• Waste disposal bins are clearly distinguishable from other storage bins
• Waste disposal bins in food preparation rooms need not be covered if they are in
frequent use and are regularly emptied
• A defined area is to be allocated for the storage of waste pending disposal
• When food waste is removed from food preparation rooms pending disposal, it must
be placed in a tightly covered waste storage bin
• Plastic liners are to be used in waste disposal and storage bins
• Waste disposal and storage bins are to be emptied when full or on a regular basis
• Waste disposal bins are to be cleaned and sanitised daily and placed upside down and
off the floor to drain overnight
E. Training
Training offers food handlers a better understanding of how food can become contaminated,
and how foodborne illness can be avoided through proper food handling procedures.
• It is good practice for a business to have a training plan to identify the training
needed for each member of staff
• It is also good practice to keep records of the training completed by every member
of staff
• Training needs should be reviewed on a regular basis and should be judged against
the role and responsibilities, the existing skills, experience and previous training of
the staff
• An example of staff training record is provided in Appendix 13
F. Customer Complaint
Customer complaint helps to reflect problem of the food production process. Complaints
should be handled carefully. Appropriate amendment on the FSP can be made if necessary.
• Establish complaint procedures
• Document all complaints from customers
• Record details including the date, customers details, reasons and response for
complaint and corrective actions
• An example of a customer complaint record sheet is provided in the Appendix 14